Friday, March 18, 2011

Damai RI-GAM Dalam Pendekatan Simbol

Posted by Isbahannur  |  at  11:29 AM

Oleh: Novel Ali
Suara Mahasiswa: Perjanjian damai antara pemerintah RI dan GAM, yang ditandatangani di Jenewa (9/12), merupakan hasil kerja keras, baik dalam arti politik, sosial, hukum, militer, maupun simbol. Dalam semua arti atau nilai itu, perjanjian damai tersebut, merupakan salah satu prasyarat mutlak terciptanya rasa aman, tenteram dan damai, bagi penduduk serta kinerja pemerintahan di bumi Nanggroe Aceh Darussalam.
Namun, seberapa besar pun harapan dan keyakinan kita akan kemanfaatan perjanjian damai itu, sederet pertanyaan patut kita ajukan. Terutama di seputar keraguan kita atas segala sesuatu yang mungkin dapat terjadi pascaperjanjian.
Jawaban atas pertanyaan ini, seharusnya tidak sekadar dilakukan secara lisan ataupun tertulis. Apalagi dalam kemasan basa-basi, yang semuanya tidak sanggup direalisasi di lapangan.
Karenanya, perjanjian damai harus dikaji dengan pendekatan simbol. Dengannya, kita bisa berharap mampu memberikan berbagai pertimbangan, kritik atau saran dalam rangka mengimplementasikan kedua belas pokok pikiran yang terkandung, di samping aneka pemikiran lain yang tersirat dalam kesepakatan damai dimaksud.
Dengan pendekatan simbol itu pula, kita mungkin akan mampu memahami berbagai problematika mendasar, yang akan selalu menghantui implementasi perjanjian damai. Terutama dalam tujuan menciptakan perdamaian menyeluruh di Aceh.
Perlawanan Simbol
Pendekatan simbol yang pertama kali perlu kita lakukan, adalah pemberian arti dan makna (simbol) kepada pemerintah RI di satu sisi, dan aktivis GAM di sisi lain, bahwa perjanjian tersebut merupakan kemenangan bagi semua pihak. 
Artinya, ditandatanganinya perjanjian berarti baik pemerintah RI maupun GAM, telah mampu menerapkan win-win solution di tengah konflik kepentingan, termasuk konflik bersenjata, sosial, politik, atau lainnya, di antara mereka sendiri.
Dalam hal ini, pemerintah RI dan GAM tidak boleh menepis jasa Hendry Dunant Center (HDC), karena prakarsanya sangat besar manfaatnya hingga ditandatanganinya perjanjian tadi. Dengan demikian, tidak ada satu pihak pun yang boleh merasa menang sendiri. 
Karena ekspose simbol kemenangan sepihak di balik perasaan tadi, dapat memotivasi perlawanan simbol pihak lain, yang menganggap peranannya dalam menciptakan perdamaian di Serambi Mekkah, hanya bersifat sublimasi, subordinan, atau sekadar peran nomor dua.
Guna mencegah terjadinya perlawanan simbol dari pihak tertentu, baik dari pemerintah RI, GAM maupun pemrakarsa (HDC), terhadap pihak lain yang merasa menjadi pahlawan, maka semua pihak harus sama-sama melakukan introspeksi atas kebijakan, sikap dan perilaku perorangan, kelompok dan lembaganya, di hari-hari sebelumnya. Di samping atas segala sesuatu berkaitan dengan apa-apa yang boleh, dan sebaliknya tidak boleh, mereka perbuat setelah 9 Desember 2002.
Sekalipun upaya semua itu memerlukan pendekatan multi dan interdisiplin, namun pendekatan simbol merupakan salah satu pendekatan yang tidak bisa dipinggirkan. Sebab, melalui pendekatan simbol, kita berharap mampu memahami masa lalunya pemerintah RI dan GAM, situasi dan kondisi sekarang keduanya, di samping apa-apa yang kita harap eksis, sekaligus bermanfaat bagi keduanya. 
Semuanya semata-mata untuk kesejahteraan moril serta material orang Aceh, yang juga bangsa kita sendiri, bangsa Indonesia.
Pendekatan simbol yang akan, dan memang seharusnya kita lakukan, bahwa perjanjian damai tersebut semata-mata demi perbaikan nasib masyarakat Aceh. Kedua belah pihak harus sama-sama menyadari, tanpa penandatanganan perjanjian, maka simbol tersebut akan secara sistematis dan terstruktur membangun watak pribadi yang senantiasa dikooptasi perasaan saling bermusuhan, antara sesama warga bangsa Indonesia, khususnya di wilayah Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).
Simbol demikian harus secepatnya ditiadakan. Dengan meniadakan simbol sejenis, semua pihak diharap akan mampu mencegah eksisnya sikap pro pemerintah RI, pro GAM, atau yang abstain, karena berbagai alasan tersendiri.
Disintegrasi Bangsa
Pendekatan simbol lain, yang perlu kita lakukan, adalah pemahaman bahwa perjuangan GAM bukanlah perjuangan dari kelompok separatis di NAD. Ekspose simbol dimaksud, diharap akan mampu menumbuhkan keyakinan mayoritas bangsa Indonesia, termasuk penduduk NAD, bahwa tuntutan dasar GAM bukanlah untuk memisahkan diri dari NKRI, apalagi untuk mendirikan negara (bebas, merdeka) di dalam wilayah NKRI.
Tuntutan GAM, sebaiknya dipahami semua pihak (pemerintah RI dan GAM), sebagai simbol harapan masyarakat Aceh agar kekayaan alam mereka dikembalikan untuk pemiliknya (masyarakat Aceh), dan tidak dikuras habis (terutama bagi kepentingan pemerintah pusat), sebagaimana eksis di era Orde Baru.
Konflik antara pemerintah RI dan GAM, terutama dalam berbagai kemasan simbolnya yang terjadi di Aceh lebih dari 26 tahun terakhir, harus tetap diakui sebagai simbol disintegrasi bangsa. Semua pihak harus mau memahami, sekaligus menelan pil pahit tersebut.
Hanya saja, persoalannya, di balik simbol dimaksud, seharusnya pemerintah RI lebih berjiwa besar mengakui kenyataan, bahwa naik ke permukaannya simbol disintegrasi bangsa di Aceh disebabkan oleh kontraproduktifnya kebijakan pembangunan nasional kita di masa orde lalu. Terutama yang berbasis kepentingan pemerintah pusat, dan bukan kepentingan daerah.
Seperti sudah banyak diketahui, di era Orde Baru, bumi Aceh yang penuh kekayaan alam, seolah hanya diposisikan sebagai simbol kepentingan nasional. Akibatnya, pengelolaan kekayaan Aceh tidak mampu meningkatkan kesejahteraan bagi masyarakat Aceh.
Sentralisasi keperkasaan alam Aceh, nyaris tidak diimbangi desentralisasi kepentingan kekuasaan itu sendiri. Akibatnya, Aceh (yang seharusnya kaya), tetap saja miskin.
Sayangnya, pemerintah RI, terutama lewat aparat keamanannya, kemudian melakukan pendekatan simbol yang sama sekali salah, sekaligus berdarah, terhadap warga Aceh yang berupaya menuntut hak-hak kedaerahannya. Dalam pendekatan simbol dimaksud, pemerintah RI seolah merasa berhak melakukan tindakan operasi militer, sebagai salah satu hak pemerintah untuk mempertahankan kedaulatan negaranya.
Simbol Dendam
Kita ingat betul, bagaimana nasib sebagian masyarakat Aceh di masa daerah operasi militer (DOM). Pelanggaran HAM dalam aneka kemasan simbol, menjadi rahasia umum di Serambi Mekkah.
Ribuan orang hilang, atau dihilangkan. Pemerkosaan, perampokan dan aneka simbol kekerasan dan kejahatan lainnya, dituduhkan awam sebagai dilakukan aparat keamanan RI.
Semua itu menimbulkan stigma bagi sebagian masyarakat Aceh, yang mendorong keberanian mereka melakukan perlawanan.
Menurut cerita (simbol), banyak anak Aceh menyaksikan ibunya diperkosa di depan bapaknya.Akibatnya apa? Tertanamlah simbol perlawanan dalam diri anak. 
Semua itu, menimbulkan stigma mendalam bagi masyarakat Aceh. Dalam pendekatan simbol, kita bisa memahami betapa tidak mudah masyarakat Aceh melupakannya. Ini mengakibatkan sebagian di antara mereka tidak gampang melenyapkan simbol dendam masa lalu.
Pemerintah RI harus bersedia memahami semua itu. Berbarengan dengannya, pemerintah RI pun wajib melakukan perbaikan pendekatan multi dan interdisiplin, termasuk pendekatan simbol, khususnya pascaditandatanganinya perjanjian damai.
Salah satu pendekatan simbol strategis yang perlu dimantabkan sekarang adalah, sejauhmana akses pemerintah RI tentang otonomi khusus, dengan diberlakukannya UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang Pelaksanaan Syariat Islam. Sekalipun, khusus dalam konteks ini, mungkin pemerintah RI tidak meraih keuntungan politik sebagai akibat otonomi khusus tadi, namun demi keutuhan NKRI, sekaligus wibawa pemerintah kita sendiri, bukankah kinerja pemerintahan RI tidak seharusnya diukur dari aspek (keuntungan/kepentingan) politik semata?
Itulah sebabnya, mengapa baik pemerintah RI, GAM, atau siapa pun juga, harus mencoba menyikapi fakta pascaperjanjian dengan kesadaran perlunya perbaikan pendekatan masa lalu. (33)
- Penulis adalah staf pengajar Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Undip 
Sumber klik disini

Tags:
Isbahannur

Jurnalis acehbaru.com yang tergabung dalam Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Organ Sipil Lain di Aceh

Get Updates

Subscribe to our e-mail newsletter to receive updates.

Share This Post

Related posts

comments
© 2013 Brigent. WP Theme-junkie converted by Bloggertheme9
Blogger templates. Proudly Powered by Blogger.
back to top