Suara Mahasiswa Aceh --- Dia tertatih di Jalan Tahrir yang lengang. Berhenti sebentar di depan tank berwarna kuning pasir dan memegang luka di atas tulang pipi. Seorang tentara menghampiri dan bertanya apakah dia baik-baik saja. Pemuda itu hanya mengangguk dan meneruskan langkahnya. Pagi masih buta, dia berjalan di bawah sinar merkuri. Pada termometer dingin tercatat 7 derajat Celsius, dan pemuda berjenggot tipis itu membekap tubuhnya dengan jaket tebal dan lehernya dengan kafiyeh. Di Kamis pagi yang dingin itu, dia keluar dari Midan Tahrir, Kairo, untuk sementara. "Saya akan kembali siang nanti," katanya kepada Tempo.
Awalnya belum terpikir untuk membuat aksi, apalagi besar-besaran seperti yang terjadi belakangan. "Kami membuat gerakan anti-Mubarak di Twitter dan ternyata responsnya baik," kata Gala. Semakin hari semakin banyak yang terlibat dalam perbincangan itu, sehingga mereka berpikir untuk membuat dukungan di dunia maya ini menjadi nyata. "Harus menjadi satu gerakan massa yang nyata agar suara kami didengar, harus turun ke jalan. Kami tinggal mencari momen yang pas."
Dan waktu yang tepat itu adalah 25 Januari. Pemilihan waktu ini amat menentukan. "Jika terlalu cepat, mahasiswa enggan turun, karena mereka masih sibuk ujian. Jika terlalu lambat, momentum Tunisia akan hilang," ujar Hoda, mahasiswi berambut pirang yang lututnya terluka dalam demonstrasi. Maka dipilihlah tanggal di hari-hari awal liburan musim dingin. Tak ada rapat-rapat khusus, tak ada komandan, semua diputuskan di Twitter. Mereka tak melibatkan partai oposisi atau gerakan perlawanan yang sudah lama bergerilya di bawah tanah, seperti Ikhwanul Muslimin. "Ini adalah gerakan pemuda Mesir, tak ada politikus yang menginginkan kekuasaan," kata Gala.
Selain tidak melibatkan politikus senior, gerakan itu dilakukan para pemuda yang selama ini tidak peduli kepada politik. "Ini semua dilakukan anak muda yang dulu apolitis dan kini memilih turun ke jalan," ujar Sharif Kouddous, keponakan budayawan oposisi Mohammed Abdel Kouddous, dalam salah satu tweet-nya.
Ahmed, misalnya. Berbeda dengan Gala dari Universitas Ain Shams, yang mahasiswanya kerap berdemo, Ahmed adalah mahasiswa American University, yang selama ini terkenal hedonis dan tak peduli sama sekali kepada politik. "Dulu kami menganggap politik tak berpengaruh pada kehidupan kami. Tapi belakangan ini semua berubah. Harga-harga melambung dan sarjana susah mencari kerja," kata Ahmed.
Sebelumnya, pada 2005, muncul juga gerakan yang didukung oleh mereka yang awalnya tak terlibat politik. Namanya Kefaya atau Cukup. Nama panjangnya adalah El-Haraka el-Masreyya men agl el-Taghyeer atau Gerakan Mesir untuk Perubahan. Pergerakan mereka pun mulai tumbuh dan merangkul para politikus lintas partai. Inilah untuk pertama kalinya politikus dari berbagai partai-sosialis, komunis, Islam, Nasrani-berkumpul dalam satu wadah. Sayang, pergerakan ini tak berumur panjang. Tak sampai setahun, mereka bubar karena banyak aktivisnya yang ditangkap. Para politikus senior menganggap mereka "orang biasa yang menginginkan demokrasi tapi tak siap berkorban".
Tiga tahun kemudian, saat terjadi demam Facebook, gerilya lewat Internet pun dimulai. Media ini dianggap lebih aman daripada berkumpul bersama seperti yang dilakukan Kefaya. Harakah Shabab Sadisa Abril atau Gerakan Pemuda 6 April adalah yang paling mencorong. Mereka menggunakan Facebook untuk menggalang dukungan bagi para buruh di kota industri El-Mahalla el-Kubra pada April 2008. Diskusi yang dibangun oleh Ahmed Salah dan Ahmed Maher ini berhasil menarik perhatian 70 ribu orang. Sayang, situs ini berhenti pada 2009 karena para administratornya ditangkap dan situs mereka di-hack.
"Ini seperti bom waktu yang siap meledak," kata Prof Dr Abd al-Hamid Hassan al-Ghazali, mantan kepala biro politik Ikhwanul. "Kekecewaan yang terus-menerus diterima rakyat Mesir akhirnya sampai ke titik klimaksnya. Kemiskinan dan pengangguran yang menghantui antara lain menjadi faktor terjadinya semua ini."
Meski yang pertama bergerak adalah kelompok muda berpendidikan, belakangan kelompok lain yang tak mengenal Internet pun ikut turun ke jalan. Misalnya Hassan Kareem, 36 tahun, seorang sopir taksi. Sejak 25 Januari lalu, dia memiliki kesibukan baru: menjadi koordinator demonstrasi. Ia mengumpulkan massa yang tak terjangkau Twitter. "Ya, dari kedai-kedai kopi di pinggir jalan, dari kerumunan massa yang memiliki keresahan sama bahwa miskin itu tidak enak dan pemerintah harus mengubah kebijakan ekonomi menjadi prorakyat agar terbuka lapangan kerja," ujarnya.
Ia dan teman-temannya mengatur rute jalan yang bisa dilalui, yel-yel apa saja yang harus diteriakkan, dan sebagainya. Ini semua dilakukan secara spontan tanpa melibatkan organisasi resmi. Bahkan pembagian makan pun mereka lakukan dengan spontanitas. "Entah dari mana, ada saja yang membagikan roti dalam jumlah besar, kadang jus buah," katanya. Para demonstran juga mengatur keamanan dari penyusupan provokator. Mereka yang masuk ke Midan Tahrir digeledah untuk memastikan tidak ada senjata tajam atau benda berbahaya lain. Bahkan sampah pun mereka pungut sendiri dan mereka kumpulkan di beberapa sudut. Semuanya rapi, meski tanpa komando yang jelas.
Memang sempat terjadi bentrokan dan kemarahan yang tak terkendali. Pada 28 Januari, terjadi bentrokan besar antara demonstran dan polisi. Sejumlah mobil polisi rusak dan hangus. Kantor pusat Partai Nasional Demokrat-nya Mubarak di Tahrir dibakar. Bahkan sejumlah penjara dijebol-meski ada dugaan para penjahat sengaja dilepas untuk membuat suasana kacau. "Kerusuhan itu terjadi bukan karena kami menyerang. Itu hanya reaksi dari serangan polisi," kata Ahmed. Setelah itu, polisi ditarik dan keamanan sepenuhnya di tangan tentara yang berjanji tak akan melepaskan tembakan.
Meski di lapangan tak bermasalah besar, ketiadaan komando, organisasi resmi, dan tokoh utama ini membuat pemerintah kesulitan saat ingin mengajak mereka berdialog. Dalam pidatonya Selasa pekan lalu, Mubarak memang mengajak kelompok oposisi berdialog. "Tapi dengan siapa kami berdialog? Para pemuda itu terbagi-bagi dalam banyak kelompok kecil," kata Wakil Presiden Umar Sulaiman kepada stasiun televisi Nile. Sulaiman mungkin bingung karena dia tak punya akun Twitter.
Pemerintah akhirnya merangkul Partai Wafd dan Partai Tagammu untuk berdialog. "Kami mau berdialog, justru untuk melaksanakan tuntutan para pemuda di Midan Tahrir," kata Dr El-Sayyid el-Badawy Shahhata, Ketua Umum Partai Wafd, kepada Tempo.