Monday, February 7, 2011

Aceh Di Mata Internasional, Proyek Vital Dan Pelanggaran HAM

Posted by Isbahannur  |  at  9:59 AM

Emisi PT Arun
Suara Mahasiswa Aceh --- Pada tanggal 15 dan 16 Januari, Aceh buka pintu untuk sejarah baru, yaitu masyarakat Aceh bersama LSM Indonesia maupun internasional membangun suatu jaringan baru untuk menyelesaikan masalah Aceh, namanya SCHRA (Support Committee for Human Rights in Aceh). Seperti kawan-kawan Aceh kecewa selama ini, masalah Aceh belum begitu menarik perhatian masyarakat internasional. Kenapa? Saya kira ada 2 alasan besar. Pertama, kurang informasi. Selama regime Soeharto, informasi tentang Aceh yang kami (orang asing) bisa dapat memang dibatasi. Yang kedua, ada prasangka bahwa orang Aceh adalah Muslim yang fanatik. Ini membuat masyarakat internasional termasuk LSM agak ragu-ragu mendukung perjuangan HAM di Aceh.

Tetapi benarkah masalah Aceh adalah masalah Islam? Pada tanggal 14 November 1999, Radio Australia melaporkan Menteri Pertambangan dan Energi Banbang Susilo Yudhoyono mengatakan TNI harus menahan proyek LNG dan minyak tanah di Aceh. Dia juga menyatakan telah meminta Panglima TNI Laksamana Widodo untuk melindungi karyawan yang bekerja untuk provit (proyek vital) di Aceh. Saya sendiri menanggap pernyataan SB Yudhoyono ini menunjukkan latar belakangnya masalah Aceh.

PT Arun dan Jepang
- Siapa harus bertanggung jawab atas masalah Aceh?
Sejak pertengahan 1980-an, Indonesia menuju industri non-migas karena kemerosotan harga internasional dan penurunan jumlah produksi. Persentase minyak, LNG dan produksi migas dalam jumlah expor memang turun dari 70,2% (1976) ke 23,5% (1996), namun industri migas masih industri raksasa bagi Indonesia. Dan Jepang adalah negara terbesar yang mengimpor minyak dan LNG dari Indonesia.

Pada 1971, Mobil Oil menggali gas field di Lhokseukon, Aceh Utara. 2 tahun kemudian, akhir 1973, kontrak jual-beli unuk 25 tahun ditandatanggani oleh Indonesia dan Jepang. Pada 1974, untuk membangun pabrik kilang gas di Arun, diberi 31,8 milyar yen (106 juga dolar dengan nilai valuta dolar pada waktu itu) dari Overseas Economic Cooperation Fund (OECF) Jepang. Untuk peningkatan produksi LNG, Chiyoda Corp. dan Mitsubishi Corp. membuat kontrak untuk membangunkan pabrik pada 1980-an. Sebagian besar LNG dan semua LPG yang dihasilkan di PT Arun diexpor ke Jepang.

Pada 1973 dan 1974, Jepang dilanda "Oil Crisis." Harga energi (minyak tanah) melonjak tinggi dan dianggap keperluan pembangunan energi baru. Selain itu, perusahaan Jepang memang ingin menanam modal atau mengexpor plant raksasa dengan dana dari pertumbuhan ekonomi tinggi yang dirangsangkan oleh Perang Vietnam. Maka bisa dikatakan bahwa pembangunan LNG di Aceh adalah untuk Jepang sendiri.

Di masa DOM (Daerah Operasi Militer), PT Arun dikabarkan terlibat pelanggaran HAM. Nama Kamp Lancung di PT Arun masih trauma bagi masyarakat Aceh. Kalau PT Arun dibangun oleh pinjaman/modal dari Jepang dan produksinya (LNG) digunakan oleh masyarakat Jepang seperti saya jelaskan tadi, Jepang bisa dikatakan terlibat pelanggaran HAM walaupun secara tidak langsung. Bisa lihat hal yang sama di kasus MOI (Mobil Oil Indonesia). Masyarakat Amerika pun harus bertanggungjawab atas pelanggaran HAM di Aceh selama ini.

Pembangunan dan HAM
- Aceh untuk masa depan
Aceh adalah daerah penting bukan untuk Jepang atau Amerika saja tetapi penting untuk Indonesia juga. Aceh kaya sumberdaya alaminya, terutama migas, kemudian hutan, udang, kelapa sawit, arang bakau dll. Bisa undang modal asing dan sering dikatakan Aceh sendiri bisa memperoleh 10% dari APBN.

Tetapi apakah pembangunan di Aceh memperkayakan masyarakat Aceh sendiri? Kawan-kawan pasti tahu jawabnya. Saya sendiri lihat provit merusakkan lingkungan hidup dan ekonomi rakyat di Aceh. Malah, penduduk sekitar pabrik tidak diangkat sebagai karyawannya.

Menurut Suara Pembaruan (30 November 1999), pemerintah Indonesia memperoleh pendapatan, devisa tidak kurang dari Rp 31 triliun dari Arun. Pendapatan itu sangat kontras dibanding APBD Aceh yang hanya Rp 150 miliar per tahun atau hanya 0,5 persen dari penghasilan Aceh yang dikembalikan dari pusat.

Memang wajar kalau rakyat Aceh merasa kecewa terhadap pembangunan (industri raksasa) selama ini. Tetapi bagi pemerintah Indonesia, pembangunan yang menguntungkan dirinya diutamakan. Untuk melancarkan proses pembangunan ini, HAM dan pembebasan masyarakat Aceh "harus" diterbatasi. Untuk pembangunan ini rakyat Aceh ditangkap, disiksa, dicurik, diperkosa, dan dibunuh sia-sia...

Masyarakat internasional seharusnya memahami apa yang terjadi di Aceh selama ini. Perjuangan Aceh bukan yang menuntut negara Islam, tetapi menuntut pembebasan dari ketidakadilan, ketakutan dan pelanggaran HAM. Saya menanggap harus ada solidaritas masyarakat sipil yang baru dan trans-border untuk menghadapi kekuatan dan kekerasaan oleh negara dan perusahaan di era globalisasi ini. Dari segi sini, SCHRA diharapkan berperan penting.(NS: Warga Jepang)
Tulisan ini saya nulis pada awal tahun 2000 untuk "Sue Aceh" yang satu2nya surat kabar dalam bahasa Aceh. Udah kadaluarsa, tapi sebagai catatan aja...(NS)
Sampai hari ini kasus pelanggaran HAM di Aceh belum terungkap

Tags:
Isbahannur

Jurnalis acehbaru.com yang tergabung dalam Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Organ Sipil Lain di Aceh

Get Updates

Subscribe to our e-mail newsletter to receive updates.

Share This Post

Related posts

comments
© 2013 Brigent. WP Theme-junkie converted by Bloggertheme9
Blogger templates. Proudly Powered by Blogger.
back to top