![]() |
| Aksi Demo DPRA |
Suara Mahasiswa Aceh --- Pada saat penandatangan Momorandum of Understanding (MoU) perdamaian antara Republik Indonesia (RI) dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki-Finlandia, Agustus 2005. Para pihak “lupa” memasukkan pasal tentang KKR, hingga mantan Presiden Finlandia Martti Oiva Kalevi Ahtisaari mengingatkan kembali bahwa ada yang dilupakan, yaitu mengenai keharusan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) di Aceh sebagai bagian integral dalam proses perdamaian itu.
Upaya pembentukan KKR di Aceh kemudian sudah menjadi kewajiban yang mengikat dan harus diwujudkan, seperti yang dituangkan dalam MoU dan UUPA No.11 tahun 2005. Tetapi wacana tersebut sampai saat ini hanya berkembang diantara para aktifis kemanusian. Sementara pemerintah belum mempunyai komitmen yang kuat dalam pembentukan KKR tersebut. Hal tersebut dapat dilihat dengan tidak dijadikannya Qanun KKR sebagai prioritas Prolegda dan juga RUU KKR nasional dalam Prolegnas 2010. Sementara masyarakat korban masih menyimpan kekecewaan, kemarahan, dendam, ketidakpuasan, atas tindakan-tidakan tidak manusiawi pada masa lalu.
Meskipun secara politis-yuridis, Aceh mempunyai kesempatan dan momen untuk membentuk KKR, sebagaimana diatur dalam pasal (229) UU No.11 Tahun 2005. Namun masih diperlukan suatu pemahaman yang komprehensif mengenai inti KKR itu sendiri, selain makna KKR dalam pemahaman komunitas internasional, KKR di Aceh juga harus mempunyai makna, identitas dan ciri khusus sesuai dengan historis, budaya dan karakter bangsa Aceh.
Dalam konteks pembentukan KKR, setidaknya ada tiga hal yang harus dipahami, yaitu; (1) kerangka dasar KKR; (2) kenyataan yang dihadapi oleh KKR dan; (3) konsekuensi pendirian KKR.
Kerangka Dasar KKR
Secara mendasar ada dua cara yang berbeda untuk menangani pengalaman masa lalu, yaitu: pertama melalui jalur pengadilan HAM, dan kedua melalui jalur KKR. Pengadilan HAM adalah proses hukum yang bertujuan menuntut pertanggungjawaban seluruh sistem yang terlibat, sesuai dengan fakta hukum yang ada, dan kemudian menjatuhkan vonis kepada pihak yang bersalah. Sementara KKR bertujuan menggali fakta beserta konteks historis (akar masalah, konteks budaya, struktur politik) berdasarkan kesaksian korban untuk mencari kebenaran dan akhirnya melahirkan pemulihan hubungan antara korban dengan pelaku. Selain itu hal ini bertujuan untuk tidak terulangnya lagi kejahatan terhadap kemanusian yang pernah dilakukan. Dengan demikian inti KKR adalah untuk memperbaiki, membantu siapa saja dan pihak mana saja untuk mengolah dan menyembuhkan pengalaman yang pahit masa lampau sehingga tidak menjadi suatu beban berat bagi masa depan.
Kemauan Politik dan Mekanisme Hukum
Saat gagasan rekonsiliasi atau pendamaian itu dituangkan dalam mekanisme hukum, mau tidak mau paham tersebut berkaitan dengan konteks politik tertentu, dan perlakuan politik tertentu pula. Perwujudan dari political will suatu negara untuk menangani masa lampaunya yang pahit adalah pembentukan KKR.
Sementara, pembentukan KKR di Aceh saat ini terjadi dilematis dan juga terjadi perbedaan interpretasi terhadap landasan hukum, yaitu apakah didasarkan pada UU KKR Nasional atau didasarkan pada Qanun Aceh? Begitu juga mengenai konsep KKR, apakah KKR Aceh akan mengadopsi konsep dan system KKR seperti yang pernah diterapkan diberbagai Negara lain atau mencari format sendiri, seperti konsep “as-shulhu” atau di Aceh dikenal dengan konsep Suloh, dengan mengunakan filosofinya yang terkenal, “luka ta sipat, darah tasukat”.
Kemauan politik tersebut akan sangat menentukan kinerja KKR, karena secara langsung akan menentukan bentuk dan sendi-sendi dasar mengenaik KKR. Ambil saja contoh dari sejumlah pengalaman KKR di sejumlah negara. Di Afrika Selatan misalnya, Negara ini mampu menangani pengalaman masa lampaunya dan mencegah terjadinya tindak balas dendam massal oleh kulit hitam terhadap kulit putih, bukan karena adanya UU yang mengatur hal tersebut. Tetapi karena pihak korban–yang dilambangkan dalam diri Nelson Mandela—mampu membuka jalan baru, yaitu pemulihan harkat kemanusiaan (konsep Afrika Selatan: ubuntu atau harkat kemanusiaan sejati). Sikap ini mampu menjadi kemauan politik yang mengalahkan segala nafsu balas dendam. Sementara di Uganda (1974), pemerintah membentuk KKR atas tekanan komunitas internasional dan kemudian menerbitkan laporan 1.000 halaman, tetapi tidak mampu mengumumkan kasus-kasus individual sehingga gambaran masalah begitu umum, kabur, dan diabaikan oleh pemerintah Idi Amin yang berkuasa. Begitu juga di Chile (1990-1991), kemauan politik untuk menangani masa lalu tidaklah sungguh besar sehingga ketika laporan KKR (1.800 hlm.) diumumkan oleh Presiden Aylwin dan pemerintah meminta maaf kepada keluarga korban, faksi militer mulai melakukan teror dan pembunuhan politik terhadap senator terkemuka dari partai oposisi. Akibatnya seluruh proses rekonsiliasi terhenti dan junta militer kembali berkuasa. Kelemahan yang terjadi di Uganda terulang di Chad (1991-1992). KKR berhasil menerbitkan laporannya, tetapi oleh pemerintah laporan tersebut dijadikan sarana ampuh untuk cuci tangansaja tanpa tindak lanjut yang memadai.
Jadi, kemauan politis pemerintah dan perangkat hukum menjadi pra-syarat bagi terciptanya rekonsiliasi yang tepat. Kalau dalam UU No. 11/2004 tentang Pemerintah Aceh, Pasal (229) dikatakan bahwa “KKR Aceh merupakan bagian yang tak terpisahkan dari KKR Nasional..“. Hal ini telah menjadikan KKR Aceh secara tidak langsung dipasung dalam konteks KKR Nasional. Kemudian, draft RUU KKR di tingkat nasional sendiri terlihat kurang berbobot dalam mewujudkan keadilan yang menyeluruh bagi korban. Sehingga dikhawatirkan akan seperti penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM lainnya. Seperti penyelesaian HAM di Timor Leste, Abepura, Tanjung Priok, Trisakti-Semanggi, yang tidak pernah mengungkapkan kebenaran dan memberikan keadilan pada korban. Hal ini setidaknya dapat dijadikan sebagai tolak ukur bahwa bangunan KKR yang hendak didirikan “sangat sulit” mewujudkan keadilan bagi si korban di Aceh jika tidak dilakukan suatu kajian yang mendalam dan keinginan yang kuat dari semua pihak.
Kenyataan dan Kondisi di Aceh
Konflik berdarah selama lebih kurang 30 tahun di Aceh adalah catatan hitam yang akan sulit dilupakan, terutama oleh para korban. Ingatan penderitaan (memoria passionis) itu begitu hidup, dan diwariskan dari generasi ke generasi sehingga menjadi ingatan kolektif. Namun tidak semua ingatan tersebut didokumentasikan atau dicatat secara tertulis sehingga dapat menjadi fakta dan data yang kuat di hadapan hukum. Baru setelah reformasi dan dicabutnya DOM, sejumlah kasus penting didokumentasikan oleh kalangan pekerja-pekerja kemanusiaan dan aktifis HAM. Seperti kasus Simpang KKA, Alue Nireh, Pembantaian di Kantor KNPI Lhokseumawe, Kasus Krueng Arakundo, Kasus pembantaian Tgk.Bantaqiah, penculikan dan pembunuhan aktifis HAM di Aceh, dll. Selain itu, selama puluhan tahun para korban atau saksi belum pernah mendapat kesempatan untuk menyatakan kepedihannya atau pengalamannya di hadapan siapapun juga. Meskipun di awal-awal pencabutan DOM ada komisi pencari fakta yang dibentuk oleh Pemerintah, namun hanya sebagian kecil saksi atau saksi korban dapat memberikan kesaksiannya. Tetapi itupun belum ada tindakan secara hukum yang diambil terhadap pelaku atau bentuk penegakan kebenaran lainnya dalam mewujudkan keadilan bagi korban.
Dengan demikian, hingga kini data yang tersedia mengenai fakta dan konteks pelanggaran berat HAM amat terbatas, begitu juga saksi yang telah mendapat pendampingan, sehingga mampu mengungkapkan pengalaman hidupnya secara akurat, lengkap, dan jujur.
Konsekuensi Pembentukan KKR
Setelah memahami secara umum gambaran KKR dan menghadapkannya dengan situasi faktual di Aceh dewasa ini, maka akan lahir beberapa konsekuensi yang diperlukan dalam proses pembentukan KKR. Konsekuensi tersebut diantaranya adalah (1) adanya kemauanan politik; (2) adanya system hukum yang adil dan jujur (3) dokumen pelanggaran HAM dan perlindungan saksi, serta; (4) pemahaman yang tepat mengenai konsep KKR yang akan diterapkan.
Sejarah politik dan penegakan HAM di Indonesia memang yang masih mengkhawatirkan. Sehingga pembentukan KKR di Aceh sangat memerlukan sebuah kajian yang sangat cermat, kritis dan komprehensi. Baik itu menyangkut, kebijakan politik (political will), legalitas hukum, stuktur sosial-budaya dan keadilan ekonomi. Pengalaman sejumlah negara yang mendirikan KKR karena tekanan internasional akhirnya tidak membuahkan hasil memadai. KKR juga tidak dapat dijadikan sebagai alat paksa untuk menghukum para pelaku, karena memang alasan keberadaannya tidak demikian. Sehingga hal tersebut perlu dipahami oleh rakyat sebagai korban dari kekerasan itu. Karena untuk menghukum para pelaku harus melalui pengadilan HAM. Namun demikian, bukan tidak mungkin dengan adanya data dan pengakuan saksi itu melalui media KKR, kemudian dapat dilanjutkan dengan pembentukan pengadilan HAM nantinya.
Intinya, KKR hanya bisa berfungsi jika kemauan politik penyelenggara negara di segala tingkat mendukungnya. Dan di sinilah tugas lembaga non-pemerintah khususnya (seperti tokah Agama, LSM, tokoh adat, dll.) mendorong untuk tercapainya ‘political will’ yang kuat. Selain itu, unsur pemerintah, TNI, polri, DPR Aceh juga perlu membuka diri dan memahami secara jernih hakikat KKR dan tujuan yang hendak dicapai sehingga betul-betul terlibat secara pro-aktif dalam menangani sejarah masa lalu Aceh.
Selain adanya kemauan politis tersebut, juga harus diiringi dengan penegakan hukum yang jujur dan adil. Dari beberapa pengungkapan kebenaran di Aceh, dapat dapat dikatakan belum memenuhi rasa keadilan masyarakat. Misalnya, dalam kasus pembantaian Tgk.Bantaqiah di Beutong Ateuh. Meskipun beberapa pelaku telah “dihukum”, namun keluarga korban masih merasakan bahwa belum ada keadilan yang mereka dapatkan. Tantangan yang tak kalah beratnya adalah bagaimana mendokumentasikan data-data pelanggaran berat HAM, konteks historis yang melatarbelakanginya, serta melindungi saksi-saksi yang masih hidup. Karena bahaya yang dihadapi oleh orang yang menyimpan data sama dengan membahayakan nyawanya sendiri. Padahal tanpa data yang akurat dan saksi yang tersedia, kebenaran menjadi amat lemah. Pihak manakah yang bersedia dan mampu untuk mempersiapkan hal ini? Apakah setiap kali kita bebankan ini kepada kalangan LSM, atau nantinya perwakilan Komnas HAM? Wallahu’alam (Chairul Fahmi)
Meskipun secara politis-yuridis, Aceh mempunyai kesempatan dan momen untuk membentuk KKR, sebagaimana diatur dalam pasal (229) UU No.11 Tahun 2005. Namun masih diperlukan suatu pemahaman yang komprehensif mengenai inti KKR itu sendiri, selain makna KKR dalam pemahaman komunitas internasional, KKR di Aceh juga harus mempunyai makna, identitas dan ciri khusus sesuai dengan historis, budaya dan karakter bangsa Aceh.
Dalam konteks pembentukan KKR, setidaknya ada tiga hal yang harus dipahami, yaitu; (1) kerangka dasar KKR; (2) kenyataan yang dihadapi oleh KKR dan; (3) konsekuensi pendirian KKR.
Kerangka Dasar KKR
Secara mendasar ada dua cara yang berbeda untuk menangani pengalaman masa lalu, yaitu: pertama melalui jalur pengadilan HAM, dan kedua melalui jalur KKR. Pengadilan HAM adalah proses hukum yang bertujuan menuntut pertanggungjawaban seluruh sistem yang terlibat, sesuai dengan fakta hukum yang ada, dan kemudian menjatuhkan vonis kepada pihak yang bersalah. Sementara KKR bertujuan menggali fakta beserta konteks historis (akar masalah, konteks budaya, struktur politik) berdasarkan kesaksian korban untuk mencari kebenaran dan akhirnya melahirkan pemulihan hubungan antara korban dengan pelaku. Selain itu hal ini bertujuan untuk tidak terulangnya lagi kejahatan terhadap kemanusian yang pernah dilakukan. Dengan demikian inti KKR adalah untuk memperbaiki, membantu siapa saja dan pihak mana saja untuk mengolah dan menyembuhkan pengalaman yang pahit masa lampau sehingga tidak menjadi suatu beban berat bagi masa depan.
Kemauan Politik dan Mekanisme Hukum
Saat gagasan rekonsiliasi atau pendamaian itu dituangkan dalam mekanisme hukum, mau tidak mau paham tersebut berkaitan dengan konteks politik tertentu, dan perlakuan politik tertentu pula. Perwujudan dari political will suatu negara untuk menangani masa lampaunya yang pahit adalah pembentukan KKR.
Sementara, pembentukan KKR di Aceh saat ini terjadi dilematis dan juga terjadi perbedaan interpretasi terhadap landasan hukum, yaitu apakah didasarkan pada UU KKR Nasional atau didasarkan pada Qanun Aceh? Begitu juga mengenai konsep KKR, apakah KKR Aceh akan mengadopsi konsep dan system KKR seperti yang pernah diterapkan diberbagai Negara lain atau mencari format sendiri, seperti konsep “as-shulhu” atau di Aceh dikenal dengan konsep Suloh, dengan mengunakan filosofinya yang terkenal, “luka ta sipat, darah tasukat”.
Kemauan politik tersebut akan sangat menentukan kinerja KKR, karena secara langsung akan menentukan bentuk dan sendi-sendi dasar mengenaik KKR. Ambil saja contoh dari sejumlah pengalaman KKR di sejumlah negara. Di Afrika Selatan misalnya, Negara ini mampu menangani pengalaman masa lampaunya dan mencegah terjadinya tindak balas dendam massal oleh kulit hitam terhadap kulit putih, bukan karena adanya UU yang mengatur hal tersebut. Tetapi karena pihak korban–yang dilambangkan dalam diri Nelson Mandela—mampu membuka jalan baru, yaitu pemulihan harkat kemanusiaan (konsep Afrika Selatan: ubuntu atau harkat kemanusiaan sejati). Sikap ini mampu menjadi kemauan politik yang mengalahkan segala nafsu balas dendam. Sementara di Uganda (1974), pemerintah membentuk KKR atas tekanan komunitas internasional dan kemudian menerbitkan laporan 1.000 halaman, tetapi tidak mampu mengumumkan kasus-kasus individual sehingga gambaran masalah begitu umum, kabur, dan diabaikan oleh pemerintah Idi Amin yang berkuasa. Begitu juga di Chile (1990-1991), kemauan politik untuk menangani masa lalu tidaklah sungguh besar sehingga ketika laporan KKR (1.800 hlm.) diumumkan oleh Presiden Aylwin dan pemerintah meminta maaf kepada keluarga korban, faksi militer mulai melakukan teror dan pembunuhan politik terhadap senator terkemuka dari partai oposisi. Akibatnya seluruh proses rekonsiliasi terhenti dan junta militer kembali berkuasa. Kelemahan yang terjadi di Uganda terulang di Chad (1991-1992). KKR berhasil menerbitkan laporannya, tetapi oleh pemerintah laporan tersebut dijadikan sarana ampuh untuk cuci tangansaja tanpa tindak lanjut yang memadai.
Jadi, kemauan politis pemerintah dan perangkat hukum menjadi pra-syarat bagi terciptanya rekonsiliasi yang tepat. Kalau dalam UU No. 11/2004 tentang Pemerintah Aceh, Pasal (229) dikatakan bahwa “KKR Aceh merupakan bagian yang tak terpisahkan dari KKR Nasional..“. Hal ini telah menjadikan KKR Aceh secara tidak langsung dipasung dalam konteks KKR Nasional. Kemudian, draft RUU KKR di tingkat nasional sendiri terlihat kurang berbobot dalam mewujudkan keadilan yang menyeluruh bagi korban. Sehingga dikhawatirkan akan seperti penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM lainnya. Seperti penyelesaian HAM di Timor Leste, Abepura, Tanjung Priok, Trisakti-Semanggi, yang tidak pernah mengungkapkan kebenaran dan memberikan keadilan pada korban. Hal ini setidaknya dapat dijadikan sebagai tolak ukur bahwa bangunan KKR yang hendak didirikan “sangat sulit” mewujudkan keadilan bagi si korban di Aceh jika tidak dilakukan suatu kajian yang mendalam dan keinginan yang kuat dari semua pihak.
Kenyataan dan Kondisi di Aceh
Konflik berdarah selama lebih kurang 30 tahun di Aceh adalah catatan hitam yang akan sulit dilupakan, terutama oleh para korban. Ingatan penderitaan (memoria passionis) itu begitu hidup, dan diwariskan dari generasi ke generasi sehingga menjadi ingatan kolektif. Namun tidak semua ingatan tersebut didokumentasikan atau dicatat secara tertulis sehingga dapat menjadi fakta dan data yang kuat di hadapan hukum. Baru setelah reformasi dan dicabutnya DOM, sejumlah kasus penting didokumentasikan oleh kalangan pekerja-pekerja kemanusiaan dan aktifis HAM. Seperti kasus Simpang KKA, Alue Nireh, Pembantaian di Kantor KNPI Lhokseumawe, Kasus Krueng Arakundo, Kasus pembantaian Tgk.Bantaqiah, penculikan dan pembunuhan aktifis HAM di Aceh, dll. Selain itu, selama puluhan tahun para korban atau saksi belum pernah mendapat kesempatan untuk menyatakan kepedihannya atau pengalamannya di hadapan siapapun juga. Meskipun di awal-awal pencabutan DOM ada komisi pencari fakta yang dibentuk oleh Pemerintah, namun hanya sebagian kecil saksi atau saksi korban dapat memberikan kesaksiannya. Tetapi itupun belum ada tindakan secara hukum yang diambil terhadap pelaku atau bentuk penegakan kebenaran lainnya dalam mewujudkan keadilan bagi korban.
Dengan demikian, hingga kini data yang tersedia mengenai fakta dan konteks pelanggaran berat HAM amat terbatas, begitu juga saksi yang telah mendapat pendampingan, sehingga mampu mengungkapkan pengalaman hidupnya secara akurat, lengkap, dan jujur.
Konsekuensi Pembentukan KKR
Setelah memahami secara umum gambaran KKR dan menghadapkannya dengan situasi faktual di Aceh dewasa ini, maka akan lahir beberapa konsekuensi yang diperlukan dalam proses pembentukan KKR. Konsekuensi tersebut diantaranya adalah (1) adanya kemauanan politik; (2) adanya system hukum yang adil dan jujur (3) dokumen pelanggaran HAM dan perlindungan saksi, serta; (4) pemahaman yang tepat mengenai konsep KKR yang akan diterapkan.
Sejarah politik dan penegakan HAM di Indonesia memang yang masih mengkhawatirkan. Sehingga pembentukan KKR di Aceh sangat memerlukan sebuah kajian yang sangat cermat, kritis dan komprehensi. Baik itu menyangkut, kebijakan politik (political will), legalitas hukum, stuktur sosial-budaya dan keadilan ekonomi. Pengalaman sejumlah negara yang mendirikan KKR karena tekanan internasional akhirnya tidak membuahkan hasil memadai. KKR juga tidak dapat dijadikan sebagai alat paksa untuk menghukum para pelaku, karena memang alasan keberadaannya tidak demikian. Sehingga hal tersebut perlu dipahami oleh rakyat sebagai korban dari kekerasan itu. Karena untuk menghukum para pelaku harus melalui pengadilan HAM. Namun demikian, bukan tidak mungkin dengan adanya data dan pengakuan saksi itu melalui media KKR, kemudian dapat dilanjutkan dengan pembentukan pengadilan HAM nantinya.
Intinya, KKR hanya bisa berfungsi jika kemauan politik penyelenggara negara di segala tingkat mendukungnya. Dan di sinilah tugas lembaga non-pemerintah khususnya (seperti tokah Agama, LSM, tokoh adat, dll.) mendorong untuk tercapainya ‘political will’ yang kuat. Selain itu, unsur pemerintah, TNI, polri, DPR Aceh juga perlu membuka diri dan memahami secara jernih hakikat KKR dan tujuan yang hendak dicapai sehingga betul-betul terlibat secara pro-aktif dalam menangani sejarah masa lalu Aceh.
Selain adanya kemauan politis tersebut, juga harus diiringi dengan penegakan hukum yang jujur dan adil. Dari beberapa pengungkapan kebenaran di Aceh, dapat dapat dikatakan belum memenuhi rasa keadilan masyarakat. Misalnya, dalam kasus pembantaian Tgk.Bantaqiah di Beutong Ateuh. Meskipun beberapa pelaku telah “dihukum”, namun keluarga korban masih merasakan bahwa belum ada keadilan yang mereka dapatkan. Tantangan yang tak kalah beratnya adalah bagaimana mendokumentasikan data-data pelanggaran berat HAM, konteks historis yang melatarbelakanginya, serta melindungi saksi-saksi yang masih hidup. Karena bahaya yang dihadapi oleh orang yang menyimpan data sama dengan membahayakan nyawanya sendiri. Padahal tanpa data yang akurat dan saksi yang tersedia, kebenaran menjadi amat lemah. Pihak manakah yang bersedia dan mampu untuk mempersiapkan hal ini? Apakah setiap kali kita bebankan ini kepada kalangan LSM, atau nantinya perwakilan Komnas HAM? Wallahu’alam (Chairul Fahmi)
Sumber klik disini

Isbahannur