Saturday, January 1, 2011

Laporam Akhir Tahun LBH Aceh: Pelaku Pelanggaran HAM Di Dominasi Oleh Polisi

Posted by Isbahannur  |  at  2:30 AM

Poslantas Lhokseumawe Kasar
Suara Mahasiswa Aceh --- Selama tahun 2010, LBH Banda Aceh menerima dan menangani kasus sebanyak 232 Kasus. Dari 232 kasus tersebut, LBH Banda Aceh memberikan layanan bantuan hukum melalui 2 (dua) kategori yaitu, Bantuan Hukum Struktural (BHS) yaitu kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia, dan Bantuan Hukum Cuma-Cuma (BHC) bagi rakyat miskin. Sebanyak 1437 jiwa tercatat sebagai penerima layanan bantuan hukum yang diberikan oleh LBH Banda Aceh selama tahun 2010.

Pelanggaran HAM yang terjadi sepanjang tahun ini menunjukkan bahwa hak asasi manusia belum menjadi bagian kerja (Mainstreaming) dari Rezim Pemerintahan Aceh saat ini. Sepanjang tahun 2010, LBH Banda Aceh mencatat terjadi 87 kasus pelanggaran HAM dengan perincian 47 kasus pelanggaran hak sipil politik dan 39 kasus pelanggaran hak ekonomi sosial budaya. Data pelanggaran HAM ini merupakan hasil pelaporan kasus ke LBH Banda Aceh sepanjang tahun 2010 yang di rekap pada saat pelaksanaan Rapat Kerja Daerah (RAKERDA) LBH Banda Aceh pada tanggal 15 – 17 Desember 2010 yang di hadiri oleh seluruh LBH Banda Aceh, Pos Langsa, pos Lhokseumawe, pos Takengon, pos Kuta Cane, pos Tapak Tuan dan pos Meulaboh.

Sepanjang tahun 2010 pelanggaran hak sipil politik yang dominan terjadi adalah kasus penyiksaan dan penganiayaan berjumlah 15 kasus, kasus penahanan dan penangkapan sewenang-wenang berjumlah 8 kasus, hak anak 4 kasus, pelanggaran hak kesamaan didepan hukum 7 kasus, pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan 3 kasus, pelanggaran hak atas proses peradilan yang adil 4 kasus, pelanggaran hak hidup 2 kasus, penembakan 2 kasus, pengusiran paksa 1 kasus, dan pengancaman 1 kasus. Dalam catatan LBH Banda Aceh, tahun 2010 terjadi peningkatan jumlah pelanggaran hak sipil politik sebesar 28% dari tahun 2009. Dalam tahun 2009 terjadi 27 kasus pelanggaran hak sipil politik dengan perincian penyiksaan dan penganiayaan 9 kasus, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang 5 kasus, pelanggaran hak anak 3 kasus, hak kesamaan di muka hukum 3 kasus, hak hidup 3 kasus, pengancaman 1 kasus dan pelanggaran hak kebebasan berpendapat dan berekspresi 3 kasus.

Peningkatan jumlah kasus yang signifikan adalah kasus penyiksaan dan penganiayaan, penangkapan sewenang-wenang dan hak kesamaan dimuka hukum yang dominan dilakukan dalam proses penyidikan. Dalam catatan LBH Banda Aceh selama tahun 2010, polisi merupakan aktor utama pelaku pelanggaran hak sipil politik. 27 kasus pelanggaran hak sipol dilakukan oleh polisi, 5 kasus dilakukan oleh TNI, kejaksaan dan pengadilan masing-masing melakukan 4 kasus pelanggaran sipol, LAPAS, perusahaan, guru, dan pemerintah daerah melakukan masing-masing 2 kasus serta kepala desa, KPA dan OTK melakukan masing-masing 1 kasus.

Dari segi pelaku juga mengalami peningkatan dimana dalam tahun 2009, polisi melakukan pelanggaran sebanyak 24 kasus sementara dalam tahun ini polisi melakukan 27 kasus pelanggaran sipol. Lemahnya akuntabilitas dan pertanggungjawaban dalam institusi polisi sendiri merupakan salah satu penyebab polisi menjadi aktor dominan pelanggaran HAM. Ketidakmauan dan ketidakmampuan polisi untuk menindak anggota sendiri menyebabkan tidak adanya pelajaran yang dapat di petik sehingga pelanggaran-pelanggaran HAM masih terus dilakukan oleh polisi. Selain itu juga penyiksaan dilakukan polisi dalam penyidikan untuk mendapatkan informasi dari tersangka sebagai alat bukti untuk kelengkapan berkas penyidikan. Padahal alat bukti pengakuan (keterangan terdakwa) merupakan alat bukti yang paling lemah dalam sistem pembuktian pidana.

Sementara dari segi korban, jumlah korban pelanggaran hak sipil politik dalam tahun ini sebanyak 51 orang, dimana 41 diantaranya laki-laki, 5 orang perempuan dan 5 orang anak-anak. Korban yang paling banyak adalah korban dari pelanggaran hak untuk tidak disiksa dan dianiaya sebanyak 15 orang kemudian korban penangkapan dan penahanan sewenang-wenang sebanyak 8 orang, kesamaan dimuka hukum 7 orang dan seterusnya.

Sedangkan untuk pelanggaran hak ekonomi sosial budaya yang dominan selama tahun 2010 adalah sengketa tanah struktural 14 kasus, perburuhan 12 kasus, pengusuran dan pembongkaran paksa 2 kasus, pembongkaran paksa rumah 1 kasus, bantuan perumahan tsunami 2 kasus, Mal praktek kedokteran 1 kasus, penelantaran pasien 1 kasus, akreditasi lembaga pendidikan 1 kasus , pencemaran lingkungan 1 kasus  dan relokasi pemukiman 1 kasus, diskriminasi dalam pendidikan 1 kasus, penyaluran bantuan yang tidak tepat sasaran 1 kasus. Dari pelayanan bantuan hukum yang diberikan untuk kasus pelanggaran hak ekosob, jumlah penerima manfaat sebanyak 1213 jiwa.

Sepanjang tahun 2010 LBH Banda Aceh mencatat terjadi peningkatan kasus ekosob sebanyak 14% dari tahun 2009. Peningkatan kasus ekosob yang sangat tinggi terjadi pada kasus perburuhan. Hal ini disebabkan karena masih lemahnya pemahaman tentang hak-hak buruh yang dimiliki oleh para pemilik modal.

Selain itu juga masih terus terjadinya sengketa tanah struktural sepanjang tahun 2010 yang disebabkan oleh masih banyaknya kebijakan-kebijakan agraria/ tanah yang tumpang tindih, sehingga berpeluang terjadinya peningkatan sengketa/konflik agraria di Aceh. Selain itu berdasarkan UUPA, Aceh  memiliki peluang untuk meminilisir konflik/ sengketa agraria/ tanah, dimana Aceh diberikan kewenangan khusus dalam menentukan kebijakan-kebijakan terkait dengan keagrarian/ pertanahan secara sendiri tapi sampai saat ini belum ada. Dalam konteks Aceh, terjadi nya peningkatan disebabkan karena arah program pembangunan pemerintah Aceh lebih membuka peluang kepada investasi nasional dan lokal. Disisi yang lain, masih lemah dan lambannya institusi pemerintah dalam penanganan setiap sengketa yang muncul dan  belum adanya mekanisme penyelesaian sengketa dan konflik tanah yang berpihak pada rasa keadilan rakyat.

Selama tahun 2010, aktor yang dominan melakukan pelanggaran hak ekosob adalah pemerintah daerah sebanyak 20 kasus, TNI 3 kasus, perusahaan 12 kasus, lembaga pendidikan dan lembaga sosial masing-masing 2 kasus.

Dalam tahun 2010 LBH Banda Aceh juga memberikan layanan bantuan hukum cuma-cuma kepada 173 orang penerima manfaat. Jumlah kasus bantuan hukum Cuma-Cuma dalam tahun ini sebanyak 146 kasus yang terdiri dari kasus perdata, maupun pidana, baik perceraian, penganiayaan, sengketa tanah hak milik, sengketa warisan dan sebagainya.. Jumlah kasus ini juga mengalami peningkatan dari tahun 2009 yaitu 104 kasus. Peningkatan kasus BHC ini sebanyak 16%. peningkatan jumlah kasus BHC disebakan karena kesadaran hukum dari masyarakat semakin tinggi dan kritis dalam menghadapi berbagai persoalan hukum serta keberadaan pos LBH  di 7 wilayah kerja yang mempermudah masyarakat untuk mengaksesnya.

Dari 146 kasus bantuan hukum Cuma-Cuma tersebut, 112 kasus hanya di berikan konsultasi hukum secara gratis dengan jumlah penerima manfaat sebanyak 121 orang. Sementara 13  kasus diselesaikan secara non litigasi (diluar pengadilan) dengan jumlah penerima manfaat sebanyak 13 orang. Metode penanganan perkara non litigasi berupa mediasi, hearing, audiensi, melayangkan surat protes, dan sebagainya. Sementara itu 21 kasus ditangani dengan metode litigasi (jalur peradilan) dengan jumlah penerima manfaat sebanyak 39 orang. Penanganan litigasi berupa pendampingan hukum di penyidikan, pendampingan hukum di pengadilan maupun hanya membuat legal dokumennya saja.

Banyaknya pengaduan yang diterima oleh LBH Banda Aceh selama tahun 2010 menunjukkan banyak warga yang membutuhkan bantuan hukum untuk menyelesaikan persoalan hukumnya. Hanya saja selama ini bantuan hukum hanya di berikan oleh berbagai Lembaga Bantuan Hukum dan Advokat sebagai kewajiban moralnya. Sejatinya bantuan hukum adalah hak konstitusional setiap warga negara. Sehingga memberikan bantuan hukum menjadi kewajiban konstitusional negara atau pemerintah  kepada warganya. Dalam kenyataannya, selama ini negara atau pemerintah  telah gagal untuk menunaikan kewajiban konstitusionalnya dengan memberikan bantuan hukum kepada setiap warganya.

Berdasarkan hal-hal tersebut, LBH Banda Aceh merekomendasikan kepada:
  • Kepolisian tidak melakukan diskriminasi dalam proses penegakan hukum termasuk mulai meninggalkan pembelaan korps terhadap anggota polisi yang diproses secara hukum.
  • Kepolisian mulai bekerja dengan meninggalkan gaya bekerja polisi zaman kolonial Belanda yang hanya mengutamakan pengakuan dari tersangka, tetapi harus menggali alat-alat bukti lain yang diatur dalam KUHAP.
  • Mendesak Pemerintah Aceh untuk melahirkan kebijakan pertanahan dan sumber daya alam yang memiliki perspektif hak asasi manusia sebagaimana kewenangan khususnya yang di atur dalam UUPA.
  • Mendesak Pemerintah Aceh untuk segera menyelesaikan konflik pertanahan yang terjadi dan pernah ditangani sebagai solusi konkrit atas konflik pertanahan yang terjadi di Aceh.
Banda Aceh, 29 Desember 2010
Hormat kami, LBH Banda Aceh


Hospinovizal Sabri, S.H.



Direktur LBH Banda Aceh







Mohd. Alhamda, S.HI.
Zulfikar, S.H

Wakil Direktur Bidang Operasional
Kadiv. Hak Sipil Politik






Mustiqal Syah Putra, S.H.   
Husniaty, S.H.

Kadiv. Hak Ekonomi Sosial BudayaKanit. Pembela Umum

Tags:
Isbahannur

Jurnalis acehbaru.com yang tergabung dalam Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Organ Sipil Lain di Aceh

Get Updates

Subscribe to our e-mail newsletter to receive updates.

Share This Post

Related posts

comments
© 2013 Brigent. WP Theme-junkie converted by Bloggertheme9
Blogger templates. Proudly Powered by Blogger.
back to top