Thursday, December 9, 2010

Tak ada kendala Yuridis Mengadili Pelangaran HAM Aceh

Posted by Isbahannur  |  at  2:11 AM

Saddam Husein Di Tembak
Suara Mahasiswa Aceh --- Tanggal 10 desember seluruh negara memperingati Hari HAM sedunia, tidak terkecuali di Indonesia. Mungkin tak ada yang istimewa dalam peringatan HAM kali ini, kecuali bagi mereka yang sadar betul bahwa hak mereka sebagai manusia masih dikakangi dan dirampas oleh monster yang bernama “kekuasaan”, entah itu kekuasaan negara, kekuasaan organisasi, perusahaan, kelompok orang maupun individu sebagai pemangku kewajiban terhadap HAM, meskipun tanggung jawab utama terhadap HAM berada dipundak negara/pemerintah untuk menghormati, melindungi, memenuhi dan menyebarluaskan HAM.

Dalam konteks Aceh, masih banyak pekerjaan rumah yang belum diselesaikan dalam rangka menjalani kewajiban internasional maupun kewajiban konstitusional untuk mengusut pelanggaran HAM, baik pelanggaran di masa lalu (DOM, Darurat Militer, darurat Sipil) hingga memenuhi HAM masyarakat Aceh di masa damai paska penandatanganan Nota Kesepahaman antar RI dan GAM.

Sampai hari ini, komunitas korban pelanggaran HAM Aceh di masa lalu masih terus menuntut keadilan dan tanggung jawab pemerintah untuk mengadili pelaku maupun hak untuk memperoleh reparasi sebagai korban pelanggaran berat HAM. Diantara kasus yang menyita perhatian publik adalah kasus penyiksaan di Rumoh Geudong Pidie dan kasus penyiksaan dan pembantaian di Gedung KNPI Lhokseumawe (1999); Penembakan penduduk sipil di Simpang KKA Aceh Utara (1999); Pembunuhan relawan RATA (2000); Pembantaian di bumi Flora, Julok Aceh Timur (2001); Pembunuhan dan penculikan aktivis HAM; hingga ditemukannya kuburan massal korban pembantaian DOM di Buket Tengkorak Pidie, dan lain sebagainya yang mana oleh Koalisi NGO HAM Aceh dapat diklasifikasikan kepada Gross Violation of the Human Rights (pelanggaran berat HAM) dan masuk ke dalam kategori Crime Againts Humanity (Kejahatan Terhadap Kemanusiaan) yang lengkap dan nyaris meliputi semua aspek pelanggaran berat HAM.

Persoalan mengadili pelaku pelanggaran berat HAM di Aceh yang terjadi sebelum berlakunya UU pengadilan HAM bukanlah terletak pada persoalan dapat atau tidaknya menyampingkan asas non retroaktif, namun lebih pada tidak adanya niat baik dari pemerintah dan tarik-menarik kepentingan politik militer di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hal ini sebagai ketentuan pasal 43 Ayat (2) UU Peradilan HAM yang mengharuskan pembentukan pengadilan ad hoc HAM dengan Keputusan Presiden atas usul Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).  Secara yuridis kewenangan DPR untuk mengusulkan adanya pengadilan HAM ad hoc berarti menjadikan DPR sebagai pihak yang dapat menentukan apakah ada terjadi pelanggaran HAM berat atau tidak. Kewenangan semacam itu sebenarnya tidak tepat diberikan kepada DPR karena DPR bukanlah lembaga projustisia.

Kewajiban Mengadili Pelaku Pelanggaran Berat HAM di Aceh
Sebagaimana prinsip yang dianut hukum internasional bahwa negara merupakan subjek hukum yang berkewajiban untuk mencegah, melakukan proses penuntutan serta mengadili segala bentuk pelanggaran HAM, termasuk pelanggaran berat HAM (gross violation of human rights). Jika negara tidak melakukan penuntutan atas kejahatan tersebut menunjukkan bahwa negara telah melanggengkan praktek impunitas. Dalam praktek internasional pengadilan atas pelaku pelanggaran berat HAM adalah pengadilan terhadap individu-individu yang diduga melakukan kejahatan (individual criminal responsibility) dan bukan pengadilan atas sebuah institusi atau bangsa tertentu. Oleh karena itu individu tersebut bisa berasal dari anggota militer, polisi, gerakan separatis, milisi, kelompok sipil bersenjata dan lain sebagianya
.
Dorongan untuk menyelesaikan pelanggaran HAM di Aceh juga tertuang dalam Momerandum of Understanding (MoU) antara RI dan GAM yang ditandatangani di Helsinki Finlandia 15 Agustus 2005, hal ini sebagaimana dalam point 2 mengenai Hak Asasi Manusia: 2.2 Human Rights Court will be established for Aceh (Sebuah Pengadilan Hak Asasi Manusia akan dibentuk untuk Aceh) dan angka 2.3 A Commission for Truth and Reconciliation will be established for Aceh by the Indonesian Commission of Truth and Reconciliation with the task of formulating and determining reconciliation measures (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi akan dibentuk di Aceh oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Indonesia dengan tugas merumuskan dan menentukan upaya rekonsiliasi).

Kedua butir MoU di atas dikukuhkan kembali dalam  UU. Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh sebagaimana dalam Pasal 228 (1): ”Untuk memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi sesudah Undang-Undang ini diundangkan dibentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia di Aceh. (2) Putusan Pengadilan Hak Asasi Manusia di Aceh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat antara lain pemberian kompensasi, restitusi, dan/atau rehabilitasi bagi korban pelanggaran hak asasi manusia”.  

Sedangkan mengenai KKR, diatur dalam Pasal 229 (1): “Untuk mencari kebenaran dan rekonsiliasi, dengan Undang-Undang ini dibentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh. (2) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian tidak terpisahkan dengan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. (3) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh bekerja berdasarkan peraturan perundang-undangan. (4) Dalam menyelesaikan kasus pelangggaran hak asasi manusia di Aceh, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh dapat mempertimbangkan prinsip-prinsip adat yang hidup dalam masyarakat. Namun faktanya hingga kini Qanun Aceh Tentang KKR belum juga dibahas oleh DPRA.

Jika mengacu pada Pasal 45 UU No. 26 tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM, pembentukan pengadilan HAM di Aceh sebagaimana amanat UU No. 11 tentang Pemerintahan Aceh pada dasarnya tidak bertentangan dengan aturan hukum, hal ini sesuai dengan Pasal 2 dan 3 UU Pengadilan HAM yang menyebutkan bahwa Pengadilan HAM adalah peradilan khusus dibawah peradilan umum dan Pengadilan HAM berkedudukan di daerah kabupaten atau daerah kota yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Dengan demikian, pembentukan pengadilan HAM dapat dibentuk disetiap wilayah Pengadilan Negeri di Aceh. Atau jika belum terbentuk maka berdasarkan ketentuan tentang saat pertama kali dibentuk pengadilan, dilakukan di Medan yang memang mempunyai yurisdiksi atas wilayah Aceh (Pasal 45).

Bukan Hambatan Yuridis
Mengadili pelaku pelanggaran berat HAM di Aceh bukanlah pada aspek yuridis, namun lebih pada pertimbangan politis. Yang dibutuhkan hanyalah niat baik dan komitmen politik pemerintah RI (Presiden RI, DPR-RI, Kejaksaan Agung, Komnas-HAM) agar benar-benar serius dan bersungguh-sungguh menyelesaikan kasus Pelanggaran berat HAM Aceh, baik melalui pembentukan Pengadilan HAM ad hoc, pengadilan HAM permanen, maupun membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

Mengadili pelaku pelanggaran berat HAM yang terjadi di Aceh merupakan kewajiban pemerintah RI yang harus dipenuhi sebagai amanat dari UU pengadilan HAM, maupun kewajiban yang timbul dari ketentuan hukum HAM internasional, yurisprudensi dan doktrin serta hukum kebiasaan yang dianut oleh negara-negara beradab.
Peran Komnas-HAM sebagai penyelidik harus kembali didorong untuk membentuk dan mengaktifkan Komisi Penyelidik Perkara (KPP) HAM untuk kasus Aceh, agar dapat secara serius melakukan penyelidikan dugaan pelanggaran berat HAM yang terjadi di Aceh, baik untuk perkara pelanggaran berat HAM yang terjadi sebelum maupun sesudah berlakunya UU Pengadilan HAM.

Penyelidikan yang dilakukan Komnas-HAM secara serius, professional dan imparsial merupakan harapan korban dan seluruh masyarakat Aceh, demi keadilan menuju masyarakat Aceh yang damai, bermartabat di bawah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ketiadaan komitmen pemerintah RI untuk mengadili pelaku pelanggaran HAM di Aceh yang mengarah pada tindakan impunitas justru akan menambah akulmulasi ketidakadilan korban dan ketidakpercayaan masyarakat Aceh maupun masyarakat internasional terhadap pemerintah RI.

Selamat Memperingati Hari HAM Sedunia. Tak ada damai Aceh tanpa dipenuhinya hak korban
Lhokseumawe 9 Desember 2010 (Mirza Alfath)

Tags:
Isbahannur

Jurnalis acehbaru.com yang tergabung dalam Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Organ Sipil Lain di Aceh

Get Updates

Subscribe to our e-mail newsletter to receive updates.

Share This Post

Related posts

comments
© 2013 Brigent. WP Theme-junkie converted by Bloggertheme9
Blogger templates. Proudly Powered by Blogger.
back to top