Sunday, October 10, 2010

Alangkah Tak Menariknya Aktivis Mahasiswa Sekarang (ardiabara)

Posted by Isbahannur  |  at  10:34 AM

Suara Mahasiswa: Menjadi aktivis pergerakan mahasiswa saat ini adalah sebuah pilihan dilematis. Gagasan “gerakan transformatif” menjadi wacana kering dalam pergumulan dialektika pergerakannya. Alih-alih menegakkan benang kusut atas permasalahan bangsa, egoisme gerakan akhirnya menjerumuskan kepada kolaborasi triangle popularitas gerakan kekinian: pragmatis, opportunis, dan apatis. Sekarang langkahnya nafsi-nafsi. Sendiri-sendiri. Lu-lu, gue-gue. Lu jual, gue beli. Konsep pergerakan disetting sedemikian rupa (atau terpetakan dengan sendirinya) dengan berpedoman pada asas “apa manfaatnya bagiku??” Lupakan dahulu tentang idealita membingkai idealisme. Itu wacana lama yang sudah tidak laku lagi. 


Alangkah tak menariknya aktivitas para aktivis mahasiswa kekinian. Menari-nari layaknya badut dalam pentas panggung negara. Menjadi pengekor dan bingung harus berbuat apa. Di tengah kebimbangan, menanti uluran tangan. Mempunyai kekuatan, tapi bingung menandaskannya pada apa dan bagaimana? Terjebak pada diorama tarik menarik antara dua pilihan ekstrim: “kepentingan elit” atau apolitis. Tapi bagi para maniak kepentingan, mereka tak hanya selayak badut. Untuk pesta-pesta tertentu, mereka juga dapat melakoni peran para biduan yang menghibur pejabat, atau cukong, atau siapapun yang sanggup membayarnya dengan eksotika tarian birahi dan nyanyian sengau sebagai wujud kegagalan mereka beradaptasi dan menerjemahkan perubahan zaman. Sesuai permintaan. Anda pesan, kami antar. Apalagi yang dapat diharapkan???

***

Saya pernah bersepakat dengan Budhiarto Shambazy, salah seorang wartawan senior harian kompas, ketika dalam sebuah tulisannya dia menyebut mahasiswa (yang direpresentasikannya dalam kata: pemuda) sebagai “tukang kebun Indonesia”. “Mereka ibarat ‘tukang kebun’ dalam sejarah perjuangan bangsa kita. Mereka menyirami kebun kita yang penuh dengan bunga, ada yang putih dan ada yang merah. Mereka tak minta apa-apa, hanya ingin melihat kebun Indonesia agar tak dikotori oleh penguasa.” Begitu Budhiarto menulis dengan sebegitu optimisnya. Tapi biarlah saya nukilkan salah satu pendapat tokoh gerakan mahasiswa 1998, Nurul Faik, untuk meluruskannya. Menurut Faik, ada dua hal yang ternyata tidak mampu dijaga oleh gerakan mahasiswa pasca reformasi; Pertama, gerakan mahasiswa ternyata tidak mampu menjaga dirinya dari pengaruh kekuatan luar yang bisa mempengaruhi dan mengotori kemurnian gerakannya. Hal yang selalu sulit dijaga dan sering menimbulkan konflik internal di kalangan mahasiswa. Kemudian, gerakan mahasiswa saat ini sering dihinggapi “oportunis-oportunis” muda yang menjual idealisme perjuangannya, yang menjadikan gerakan mahasiswa sebagai batu loncatan. Kedua, saat ini ternyata akselerasi gerakan mahasiswa tidak berangkat dari aspirasi yang berkembang di masyarakat secara nyata, akan tetapi terjebak lagi hanyut pada pertarungan politik di tingkat elite tanpa memperhatikan “arus bawah.” Hilang sudah aura agent of change dan social control menjadi simbol keramat pada doktrinasi-doktrinasi basi di setiap tahunnya.



Mengapa masa-masa transisi seperti ini tak menghadirkan para pembaharu-pembaharu? Entahlah. Mungkin ini menjadi kutukan bagi gerakan mahasiswa. Atau semacam sinyal agar segera sadar dan berbenah; bahwa siap-siap menerima perubahan zaman yang sangat pesat, atau segera menjadi generasi yang terpinggirkan, generasi yang tersingkirkan, generasi yang tergantikan. Yang pasti, sepertinya mereka sedang menantikan momentum-momentum yang mengembalikannya pada nuansa nostalgia romantika sejarah keperkasaan semu gerakan mahasiswa. Utopis dan tak ada gunanya. Padahal mereka tak sadar, bahwa momentum itu dapat dijemput, dapat dibuat, dapat diciptakan, dan dapat diledakkan segera. Bukan dinanti, layaknya seorang ibu hamil tua menanti kelahiran bayinya.



Persoalan lain adalah gerakan mahasiswa tidak matang lagi dalam kemurnian gagasannya (masif). Terlepas dari kualitas aktivisnya yang memang menurun, atau hanya karena tendensi kekuatan luar yang menginfiltrasi. Apapun itu, kondisi sakit ini harus segera disehatkan. Atau selamanya gerakan mahasiswa akan semakin terpuruk dan semakin tidak menarik. Ditambah lagi dengan berkembang kabar kekurangan partisan dalam segenap aktivitasnya sebagai buah dari apatisme yang menjangkit di kalangan mahasiswa. Atau, gerakan yang kian hari kian melempem. Ditambah lagi pencitraan media yang semakin menyudutkan gerakan mahasiswa seolah merunut dan saling berhubungan seperti sebuah mata rantai yang bertautan. Ini tantangan yang harus segera disambut oleh para aktivis yang tersisa. Atau, benar, gerakan mahasiswa sekarang semakin tidak menarik saja. Tak ada dinamikanya. Tak ada harkat yang dapat dibanggakan. Ini harus ditebus...!!! Mahal!!!



Momentum, massa, massif, movement, media. Kelimanya menjadi topik hangat setiap membahas perihal tidak menariknya gerakan mahasiswa kekinian. Bertalian dan saling bertautan. Meskipun, sayang sekali, uang (money) menjadi pengganggu di antara kelima topik ini. Akhirnya, gerakan mahasiswa kehilangan gairah dan optimismenya. Jalannya tertatih, dan terbelokkan. Sekarang, sepertinya mereka sedang bersolek, tapi tidak menyadari bahwa bukan untuk itu gerakan ada. Bukan seperti banci!!! Bersolek, lenggak-lenggok menjual diri..!!! Entahlah, mungkin arus zaman menghendaki pragmatisme terjadi, namun itu bukan pembenaran untuk menjadi tidak kreatif dan membabibuta menghalalkan segala cara.  



Biarlah, cukup surat pengantar dari Soe Hok Gie di bawah ini menjadi risalah hatiku terhadap pergerakan mahasiswa Indonesia. Tempat dimana seharusnya mereka mendesain masa depan bangsa Indonesia yang lebih baik.

Dan mereka tidak berpikir kreatip, terlalu pragmatis. Kadang2 saja takut memikirkan masa depan.

Minggu2 ini saja banjak berpikir. Lebih2 sedjak saja pulang dari gunung. Mungkin karena kurang pekerdjaan dan saja mentjoba mengadakan introspeksi pada diri saja sendiri. Tidak ada perasaan sedih, tak ada perasaan menjesal, ja tidak ada perasaan apa2. seolah2 semuanja sebagai angin dingin jang menggigilkan, tetapi saja tak punja pilihan lain ketjuali menerimanya. Saja tak punja kegairahan seperti setahun jang lalu. Mungkin saja telah terlalu lelahm dan ingin menjelesaikan skripsi saja. Mungkin djuga semuanja ini sematjam tanda bahwa dunia saja telah berlainan dengan dunia teman2 jang lebih muda. Di pintu rasanja telah mengetuk suara2 halus jang menjilahkan saja untuk meninggalkan dunia jang begitu lama saja gauli. Bersama tertawa, bertengkar, ngobrol, dllnja. Saja akan hadapi semuanja.



Mungkin surat ini agak aneh untukmu. Dan mungkin surat seperti ini tidak kau harapkan. Kalau demikian maafkan, saja hanja sekedar mengeluh pada kamu. Selamat kerja, dan sampai lain kali..” 
Sumber: klik disini

Tags:
Isbahannur

Jurnalis acehbaru.com yang tergabung dalam Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Organ Sipil Lain di Aceh

Get Updates

Subscribe to our e-mail newsletter to receive updates.

Share This Post

Related posts

comments
© 2013 Brigent. WP Theme-junkie converted by Bloggertheme9
Blogger templates. Proudly Powered by Blogger.
back to top