Sunday, January 3, 2010

Gerakan Mahasiswa Yang Digerus Sistem Akademik

Posted by Isbahannur  |  at  10:41 PM

Tak bisa dipungkiri, kepeloporan gerakan mahasiswa telah menggoreskan banyak catatan-catatan gerakan pembaharuan. Di belahan bumi manapun, mahasiswa selalu tampil pada garda terdepan dalam mendorong perubahan. Sikap kritis dan kepedulian terhadap kondisi riil masyarakat terus dimiliki mahasiswa sehingga tak segan-segan melakukan pengorbanan demi kejayaan bangsanya. Lihat saja di Indonesia, sejak sumpah pemuda sampai proklamasi kemerdekaan, kaum intelektual muda sudah memiliki peran besar. Gerakan intelektual muda atau sebut saja gerakan mahasiswa telah mampu mendorong terjadinya people power, yang melahirkan perubahan haluan bagi tatanan kehidupan bernegara dan pembangunan iklim demokrasi. Reformasi ’98 adalah contoh yang paling anyar. Bagaimana sebuah perubahan fundamental terjadi. Meruntuhkan dominasi otoritarian orde baru dan mewujudkan sebuah tatanan demokrasi bagi Indonesia baru. Sekali lagi itu semua tidak lepas dari dorongan gerakan mahasiswa yang menjadi katalisator mengkristalnya dukungan rakyat. Catatan lain yang ditoreh misalnya gerakan penggulingan orde lama pada tahun ’66, gerakan mahasiswa ’74 dan gerakan mahasiswa dalam rentang ’80 hingga ‘90an yang mengambil strategi “tiarap” untuk melawan tindakan otoriter rektorat dan pemerintahan.

Berbagai catatan historis tersebut tentu saja menjadikan orang-orang dalam lingkaran kekuasaan menjadi awas terhadap gerakan mahasiswa. Potensi kekuatan gerakan mahasiswa secara nyata dirasakan merupakan ancaman serius bagi pertahanan oligarki kekuasaan dalam melanjutkan tradisi korup, hipokrit dan otoriter. Dimata penguasa, membiarkan gerakan mahasiswa terus tumbuh, berkembang, dan meluas merupakan bahaya laten bagi eksistensi kekuasaan. Gerakan mahasiswa kritis tentu saja tidak akan melakukan pembiaran atas praktek-praktek korup serta kebijakan-kebijakan menindas yang acapkali menjadi mainan penguasa serta para kroni dalam relasi kekuasaan. Maka dari itu berbagai upaya kerapkali dilakukan oleh penguasa atau para pengambil kebijakan dalam mematahkan atau minimal meredam potensi hadirnya gerakan mahasiswa yang akan menjadi penyeimbang terhadap posisi kekuasaan.

NKK/BKK

Salah satu upaya paling tersohor yang diputuskan oleh penguasa dalam meredam gerakan mahasiswa adalah kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kampus atau NKK/BKK. NKK/BKK merupakan produk orde baru yang lahir lewat SK menteri Pendidikan dan Kebudayaan (P dan K), Daoed Josoef, No. 0156/U/1978 tentang Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK). Disusul dengan SK No. 0230/U/J/1980 tentang pedoman umum organisasi dan keanggotaan Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK). Pada periode 1978 gerakan mahasiswa mulai berani mengajukan tuntutan agar Soeharto lengser dari kursi kepresidenan. Tuntutan mahasiswa saat itu bisa dikatakan lebih berbahaya ketimbang demonstrasi besar-besaran menolak kunjungan Perdana Menteri Jepang Tanaka ke Indonesia pada tahun 1974 yang kemudian melahirkan peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari). Gerakan mahasiswa yang sudah berani menganggu kursi kepresidenan dianggap sebagai ancaman serius di mata penguasa Orde Baru.

Dalih demi stabilitas politik dan pembangunan digunakan penguasa orde baru untuk meredam gerakan aksi mahasiswa yang makin kritis dan intensif mengkritik setiap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Rektorat yang merupakan perpanjangan tangan penguasa diperintahkan untuk mengawasi dan mengintervensi lebih jauh setiap aktivitas politik mahasiswa lewat kebijakan baru tersebut. Implikasi konsep NKK/BKK adalah pembubaran Dewan Mahasiswa (DEMA), yang merupakan simbol demokrasi kampus. Sejak berlakunya NKK/BKK hampir semua organisasi kemahasiswaan ‘mati.’ Segala kegiatan kemahasiswaan tidak lagi dibawah asuhan DEMA tapi langsung di bawah kontrol BKK. Alhasil semua kegiatan pun langsung dibawah kontrol pejabat teras Universitas, Rektor dan para dosen. Setelah DEMA dibubarkan, yang tersisa hanyalah unit kegiatan mahasiswa dan senat fakultas, serta himpunan mahasiswa jurusan. Kampus dinyatakan harus steril dari politik dan hanya sebagi tempat belajar mengajar, mengembangkan nalar. Konsep NKK/BKK, diarahkan pada pengembangan diri mahasiswa sebagai bagian dari masyarakat ilmiah. Aktivitas mahasiswa berupa demonstrasi dikatakan sebagai kegiatan politik praktis yang tidak sesuai dengan iklim masyarakat ilmiah. Kegiatan kemahasiswaan terbatas pada wilayah minat dan bakat, kerohanian, dan penalaran. Selain itu, dalam Tri Darma Perguruan Tinggi dinyatakan bahwa fungsi perguruan tinggi adalah menjalankan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Depolitisasi yang diterapkan saat itu sungguh efektif, mahasiswa menjadi study oriented sehingga selama puluhan tahun hingga sekarang kegiatan mahasiswa jauh dari aktivitas mengkritisi kebijakan penguasa.

Strategi Orde Baru yang kemudian menghapus kebijakan NKK/BKK lewat SK Mendikbud No. 0457/0/1990 tentang Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan (PUOK) tertanggal 29 Juli 1990 bisa dikatakan tak mempan menyumbat daya kritis mahasiswa. Lalu apakah kemudian upaya pelemahan gerakan mahasiswa akan berakhir setelah NKK/BKK dikubur? Sebagai mahasiswa yang aktif dalam kancah gerakan, saya mengatakan tidak demikian. Harus diakui jika ketakutan orang-orang yang berada di lingkaran kekuasaan masih terus ada terhadap potensi gerakan mahasiswa. Mereka selama ini menikmati konflik keadaan negara yang justru menguntungkan mereka. Ketakutan mereka cukup beralasan karena mahasiswa memiliki energi untuk mendobrak kemapanan. Mahasiswa kritis dianggap tidak normal dan untuk itulah perlu dinormalkan. Organisasi kemahasiswaan yang selama ini menjadi episentrum mahasiswa-mahasiswa pro perubahan disumbat oleh rektorat yang selamanya tunduk kepada kekuasaan, untuk melemahkan dan mematahkan gerakan mahasiswa secara tak kasat mata dan tidak lagi represif.

Strategi baru

Lewat berbagai kebijakan dan teknik baru, upaya pelemahan dan penggerusan gerakan mahasiswa lewat berbagai kebijakan sistem akademik terus dilakukan. Inilah beberapa pola yang penulis cermati serta amati dalam dunia kampus dan perkuliahan dalam upaya pelemahan gerakan mahasiswa. Pertama, kebijakan sistem SKS (kredit semester) dan drop out (DO). Dalam perspektif rektorat, kebijakan ini merupakan upaya menjaga mutu fakultas atau jurusan yang bersangkutan. Namun dalam pandangan kebutuhan gerakan mahasiswa, sistem ini justru mengorientasikan mahasiswa untuk fokus hanya pada soal akademik dan mengesampingkan kebutuhan sosial-politik bangsa akan hadirnya mahasiswa yang kritis dan peduli.

Kebijakan ini menuntut mahasiswa untuk menyelesaikan 35 SKS dalam 4 semester dan 80 SKS dalam 8 semester dengan nilai IPK 2,00 dan wajib selesai dalam 14 semester. Kalau kita tinjau secara teoritis pedagogik (pendidikan) ini mungkin kebijakan yang baik. Tapi lihatlah faktanya, bahwa di fakultas hukum Unsyiah sejumlah 125 orang mahasiswa harus di-DO karena tak mampu menyelesaikan tuntutan akademik ini (tgj.com,22/8/08). Nah, mari kita jawab bersama-sama sekarang, apakah tuntutan akademik yang demikian telah cukup baik untuk memenuhi hak pendidikan seseorang? Atau barangkali dan mungkin sebuah kepastian bahwa sistem pendidikan kita menuntut seorang mahasiswa berada pada posisi study oriented, dan rasanya posisi ini tidak mungkin dapat ditawar-tawar lagi. Melupakan semua keresahan sosial dan penderitaan rakyat yang dilihat dan dirasakannya. Serta bekerja keras meraih nilai terbaik agar sebanding dengan nilai rupiah yang telah dikeluarkan untuk membiayai ongkos kuliah yang memang ditetapkan mahal oleh penguasa.

Kedua, tentu saja cuplikan kalimat diatas mengenai ongkos pendidikan perguruan tinggi. Mahalnya biaya di perguruan tinggi menjadikan mahasiswa tidak ingin terlibat dalam organisasi kemahasiswaan serta hanya berpikir kuliah dan mendapatkan hasil ujian memuaskan. Jika tidak demikian, maka mahasiswa mengalami ketakutan tidak lulus cepat atau bahkan akan terancam DO. Terlibat aktif dalam organisasi kemahasiswaan terlalu menyita waktu dan dimungkinkan menghambat keberhasilan akademik. Ketiga, pembangunan paradigma mahasiswa akademis yang berkutat di ruang pengap (baca: ruang kuliah dan perpustakaan). Paradigma ini terus disuara-wacanakan pihak Rektorat dan dekanan jauh-jauh hari saat mahasiswa tengah melalui proses pengenalan akademik di perguruan tinggi. Bahkan, dosen-dosen yang mengajar dikelas juga bertindak selaras. Jarang sekali tipe mahasiswa aktivis-akademis diwacanakan. IPK tinggi, rajin masuk kuliah, dan lulus cepat, selalu ditanamkan dan tidak pernah mengajak mahasiswa untuk aktif berkecimpung di organisasi kemahasiswaan.

Keempat, pemberian beasiswa kepada para aktivis kampus yang dinilai vokal dan rajin mengkritik. Menurut penuturan beberapa rekan aktivis kampus upaya ini sering dilakukan. Penulis sendiri sempat ditanya oleh pejabat universitas, apakah sudah pernah mengambil beasiswa universitas atau belum. Saat itu kampus sedang panas-panasnya isu penolakan UU BHP. Upaya semacam ini adalah yang paling berbahaya. Tak bisa dipungkiri jika pemberian beasiswa atau fasilitas bisa mempengaruhi kekritisan dan idealisme mahasiswa terutama ketika berhadapan dengan kebijakan rektorat dan dekanan. Dan ancaman bagi internal gerakan mahasiswa tentu saja perpecahan yang disebabkan rasa ketidakpercayaan yang timbul diantara sesama rekan, karena ada sebagian yang makin tumpul daya kritis nya atau mundur perlahan dalam mengkritisi kebijakan. Untuk para aktivis mahasiswa sudah seharusnya membangun komitmen bersama untuk menolak segala bentuk beasiswa dan fasilitas siluman yang semacam ini.

Indikasi-indikasi di atas perlu diperhatikan cermat dan dikoreksi ulang. Mahasiswa aktivis belum tentu ber-IPK buruk. Banyak kita jumpai mahasiswa aktivis yang memiliki IPK 3 ke atas dan lulus cepat. Saat ini pragmatisme mahasiswa harus diakui semakin menggejala di tengah terpaan arus hedonisme dan permisivisme. Masuk kuliah sekadar mengisi presensi, mencatat jika tidak malas, melakukan copy-paste pada tugas makalah dan paper serta menyontek saat ujian telah berjangkit lama di dunia kampus. Mahasiswa dengan IPK tinggi juga tidak bisa serta-merta dikatakan akademis karena ukuran untuk menilai akademis atau tidak cukup kabur saat ini. Perlu di ingat bahwa IPK tinggi akan mengantarkan kita mendapat kesempatan wawancara, tapi kepemimpinan, daya kritis dan kepekaan yang akan mengantarkan kita menjadi kader bangsa sejati. Dan itu bisa diperoleh dari dunia gerakan.

Membangun spirit gerakan

Bagaimana pun, kuliah penting dan organisasi kemahasiswaan juga penting. Preseden buruk akan terjadi jika mahasiswa tidak ingin terlibat dalam aktivitas organisasi kemahasiswaan. Pragmatisme mahasiswa semakin menjadi-jadi dan defisit kader-kader pemimpin bangsa akan terjadi di kemudian hari. Padahal kebutuhan akan mahasiswa-mahasiswa kritis yang menghimpun diri dalam suatu gerakan mahasiswa merupakan kebutuhan mutlak dalam mengawal periode transisi bangsa dan mencapai cita-cita reformasi.

Membentuk gerakan kampus dan membangun nalar gerakan dalam diri seorang mahasiswa dapat dilakukan dengan banyak cara. Yang sederhana untuk dilakukan adalah bertanya atau melakukan proses dialektis atas segala rupa kebijakan, aturan, kondisi, atau gejala. Misal kita membaca berita bahwa “pemerintah melakukan kerjasama luar negeri dalam perdagangan”, penting bagi kita untuk bertanya “untuk siapa…?”, untuk siapa kebijakan itu dibuat? Untuk penguasa dan segelintir orang dilingkarannya?, atau untuk kemaslahatan rakyat banyak?. Walau sederhana, metode ini ampuh membangun nalar kritis bagi mahasiswa per masing-masing individu. Bayangkan apabila tiap mahasiswa di satu ruangan kelas saja berkehendak serupa untuk bertanya “untuk siapa” bagi setiap kebijakan, aturan, kondisi, atau gejala yang terjadi di masyarakat, tentu akan terangkum suatu daya kritis yang amat besar dari mahasiswa. Apabila ini dapat terwujud barulah dapat dikatakan bahwa kampus adalah laboratorium bagi ilmu pengetahuan dan daya kritis sosial-politik bangsa.

Jalan lain membangun spirit gerakan, selain menulis dan membaca yang sudah umum diwacanakan, barangkali dapat kita temukan dalam petikan puisi ‘Negeri Para Bedebah’ karya Adhie Massardi. ”…Maka bila negerimu dikuasai para bedebah, Usirlah mereka dengan revolusi. Bila tak mampu dengan revolusi, Dengan demonstrasi. Bila tak mampu dengan demonstrasi, dengan diskusi. Tapi itulah selemah-lemahnya iman perjuangan”.

Barangkali sudah terwakili apa yang seharusnya dilakukan oleh para mahasiswa dalam mengembangkan semangat intelektual nya lewat puisi Adhie Massardi diatas. Tentu bagi setiap mahasiswa yang dalam dirinya tertanam semangat agen pembaharu, agen intelektual dan sosial kontrol, berhenti bergerak karena upaya penggerusan dan pelemahan yang dilakukan kaki tangan penguasa adalah suatu bentuk kebodohan. Melawan itu semua bukan hanya menjadi lambang ketidak sepakatan pada bentuk pembodohan dan kepatuhan akan penguasa, melainkan lebih dari itu merupakan wujud eksistensi gerakan mahasiswa dalam mengawal proses transisi politik, pemenuhan hak dasar warga negara, pemberantasan korupsi serta reformasi di segala bidang.
(dipublikasikan di Majalah Nanggroe, Edisi 24, 10 Desember 2009)(M. Fauzan)

Tags:
Isbahannur

Jurnalis acehbaru.com yang tergabung dalam Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Organ Sipil Lain di Aceh

Get Updates

Subscribe to our e-mail newsletter to receive updates.

Share This Post

Related posts

comments
© 2013 Brigent. WP Theme-junkie converted by Bloggertheme9
Blogger templates. Proudly Powered by Blogger.
back to top