Friday, July 22, 2011

5 April Dibawah Bendera Belanada, 5 April Dibawah Bendera Indonesia

Posted by Isbahannur  |  at  5:40 AM

“Penonton, pengecut, mereka yang mendiamkan diri dan mengelak dari tanggung jawab  dalam revolusi kemerdekaan adalah pengkhianat. Kemana anda mau lari?”

“Orang-orang terjajah yang tidak berani lagi melawan, bengis, mencaci-maki, menyindir, meludahi, mengutuk, menghina dan marah kepada penjajah, segeralah menemui psykolog; karena anda sebenarnya sudah memenuhi syarat sebagai orang sakit jiwa.”
(Luth Ari Linge)

5 APRIL DIBAWAH BENDERA BELANDA
Ada orang bilang: “Orang Acheh terlalu bangga dengan sejarah masa lalunya dan tidak pernah merasa malu dengan sejarahnya.” Dua perkataan kunci: ‘bangga’ dan satu lagi ‘malu’, bisa mengundang pertanyaan.

Dalam konteks ini, kita sedang membincangkan tentang 5 April dalam sejarah Acheh? Apa artinya bagi bangsa Acheh? Untuk apa diungkit-ungkit? Tulisan ini berupaya mencari jawaban di sekitar pertanyaan tadi.

Hari ini –5 April 2004– bansa Acheh mengenang kembali matinya Jenderal Mayor J.H.R Kôhler –Panglima prang Belanda– di depan Masjid Baiturrahman oleh penembak jitu TNA. Di akhir hayatnya sempat terucap dari mulutnya: “O God, ike ben getroffen!” ( “Ya Tuhan, Aku kena tembak.”) Peristiwa ini terjadi 5 April 1873, yang berarti 131 tahun yang lalu. Perang ini adalah Ibu dari segala perang yang pernah Belanda rasakan selama berarus-ratus tahun pengalaman menjajah di Asia dan Afrika. Dari medan perang dilaporkan sbb: “... Ramai sekali serdadu Belanda mati, cedera dan Jenderal Panglima perang Belanda sendiri turut mati” (London Times, 22 April, 1873)

“... Serangan Belanda telah dipukul mundur oleh TNA. Ramai serdadu Belanda disembelih dengan pedang TNA. Sampai Jenderal Panglima perang Belanda turut mati oleh TNA, dan semua serdadu Belanda yang masih belum mati terpaksa lari tunggang-langgang ke laut. Menurut informasi, semua serdadu Belanda benar-benar hancur. 

Belanda sendiri mengaku bahwa 500 orang mati dan luka-luka. Berita terakhir dari medan perang, serdadu Belanda dikejar oleh TNA sampai ke pinggir laut dan berada dalam keadaan sekarat. Apalagi musim hujan sudah dekat, TNA terus mengejar serdadu Belanda yang sudah tak berkutik itu” Berita Utama New York Times. 6 Mei, 1873.

Itulah peristiwa menarik 131 tahun yang lalu untuk kita ulang baca hari ini, agar semua orang tahu bahwa 5 April 1873, selamanya menjadi ingatan TNA dan barangkali juga kepada TNI yang sedang berlaga di Acheh.

Dalam sejarah, bukan saja Kôhler beserta ribuan serdadunya mati, tetapi juga, pasukan TNA selama priode (1873-1905), berjaya membelasah belasan perwira tinggi Belanda –serendah-rendahnya pangkat Mayor Jenderal– misalnya saja Letnan Jenderal Van der Heijden, mata kirinya ditembak pasukan TNA dalam medan perang Samalanga dibawah pimpinan Potjôt Meuligo (seorang perempuan Acheh dari Batèë Ilëk). Jenderal  Heijden kemudian pupuler dengan julukan “Jenderal Buta”.

Fakta sejarah ini tidak ada salahnya dijadikan rujukan bagi TNA. Sebab selama priode tahun 1976 sampai sekarang, belum satupun serdadu Indonesia berpangkat Mayor Jenderal mati di Acheh, dan ini perlu. Tetapi saya pikir, ini sudah melebihi dari cukup! Artinya: kalaulah ingin supaya panglima perang Belanda berpangkat Jenderal mati di Acheh, TNA sudah membuktikan; kalaulah ingin sebanyak-banyaknya serdadu musuh (Belanda-Jawa) mati di Acheh, TNA sudah melakukan; kalaulah ingin supaya anggota keluarga pejabat tinggi sipil Belanda ramai mati di Acheh, TNA sudah pula melakukannya; kalaulah ingin supaya Belanda angkat kaki dan tidak datang lagi ke Acheh untuk selamanya, TNA sudah melakukan. Bahkan secara jujur sudah digambarkan Paul Van’t Veer sbb: ”Acheh bukan Jawa. 

Sebenarnya sudah terang benderang bahwa dalam bagian dunia yang secara umum dan tidak berketentuan disebut Hindia Belanda (Indonesia-Jawa), tidak suatu kerajaanpun yang dapat dibandingkan dengan Acheh. Ini kita tahu sekarang ini. Suatu peperangan yang lamanya lebih dari setengah abad, seratus ribu orang (pen: serdadu Belanda) mati dan setengah milyar Belanda abad 19 yang mahal itu menjadi bukti dari hal ini. Kita sudah tahu sekarang, tetapi tidak tahu di tahun 1873. Biarlah kenyataan-kenyataan ini tegak berdiri –jangan disembunyika– supaya orang-orang di negeri Belanda atau lebih-lebih lagi di Jawa bisa mengetahui, manusia yang bagaimana bangsa Acheh itu.” De Atjèh Oorlog, hlm 76.

Demikian sebaliknya. Kalaulah ingin supaya Panglima perang tertinggi Acheh mati dibunuh dengan maksud menghentikan perlawanan TNA, serdadu Belanda sudah melakukan; kalaulah ingin supaya pemimpin tertinggi negara Acheh mati dibunuh, serdadu Belanda sudah membuktikan; kalaulah ingin membakar rumah penduduk, menyiksa, menganiaya, menghukum dan membuang pejuang Acheh [lebih 1.500 (seribu lima ratus) pejuang Acheh sakit saraf dan dibuang ke penjara Tanjung Rambutan, Malaysia oleh Jepang, yang mengambil kuasa dan semua meninggal di sana], serdadu Belanda sudah melakukan; kalaulah ingin supaya banyak pasukan TNA mati [250.000 jiwa bangsa Acheh mati selama perang melawan Belanda –data  Belanda], serdadu Belanda sudah membuktikan; kalaulah ingin supaya anggota keluarga TNA: anak-anak, perempuan, orang tua dibunuh, serdadu Belanda sudah pula melakukan; dan akhirnya, kalaulah maksud dari semua perbuatan biadab ini bertujuan untuk menjajah Acheh, sudah pula Belanda lakukan, tapi sejarah membuktikan bahwa Belanda gagal di Acheh.

Memandangkan semua itu, maka bagi generasi Acheh yang arif, peristiwa tersebut tidak untuk dikenang saja dan tidak cukup dengan mengusung kebanggaan, melainkan mesti mampu menerjemahakan dan menafsirkan fakta sejarah tersebut secara intensif ke dalam kenyataan yang tengah berlaku di Acheh.

Dalam doktrin ideologi Acheh Merdeka, Belanda sama dengan Indonesia. Jadi perang yang dilancarkan –priode tahun 1976 sampai sekarang– adalah juga perang melawan neo-colonialism (Indonesia). Kalaulah ingin supaya serdadu Indonesia dari kesatuan Kapassus –pasukan elite– banyak mati di Acheh, TNA sudah melakukan; kalaulah ingin supaya pasukan Brimob yang dikenal beringas ramai mati di Acheh, TNA sudah membuktikan; kalaulah ingin supaya serdadu Indonesia dari Angkatan Laut dan Udara, Gegana dan Raider ramai mati di Acheh, TNA sudah melakukannya.

Demikian sebaliknya. Kalaulah ingin supaya panglima prang Acheh mati dibunuh, serdadu Indonesia sudah melakukan [Geutjik Umar (panglima perang Acheh) ditembak mati tahun 1993; Tengku Abdullah Sjafi’e ditembak mati tahun 2002]; kalaulah ingin supaya pejabat tinggi negara Acheh mati dibunuh, serdadu Indonesia sudah melakukan [Dr. Mukhtar Hasbi (Perdana Menteri Acheh) ditembak mati tahun 1982, Dr, Zubir Mahmud (Menteri Sosial Acheh) ditembak mati tahun 1982, Tengku Ilyas Leubé (Menteri Ke’adilan dan Perdana Menteri –priode 1982-1984– bersama  Tengku Idris, panglima perang wilayah Batèë Iliëk ditembak mati tahun 1984]; kalaulah ingin supaya pasukan TNA banyak mati, serdadu Indonesia sudah membuktikannya; kalaulah ingin supaya rumah-rumah penduduk dan sarana umum dibakar, serdadu Indonesia sudah melakukannya; kalaulah ingin menyiksa, menganiaya, memperkosa dan menghukum anggota GAM tanpa pembelaan hukum, menghukum dan membunuh aktivis civil society Acheh, serdadu Indonesia sudah membuktikan; kalaulah ingin supaya anggota keluarga TNA: anak-anak, perempuan dan orang tua dihabisi, itupun sudah serdadu Indonesia lakukan; kalaulah ingin menghukum Juru runding Acheh dan membuang tahanan perang Acheh ke tanah Jawa, rezim Indonesia sudah pula melakukan; dan akhirnya, kalaulah semua peristiwa biadab ini dimaksud untuk menghentikan perlawanan bangsa Acheh, menjajah –mempertahankan Acheh sebagai salah satu wilayah territorial Indonesia– sudah pula serdadu Indonesia lakukan sejak tahun 1976 sampai sekarang, namun hasilnya tetap NOL. Perang masih saja berkecamuk.

Tegasnya, semua kejadian ini ternyata bukan jaminan menuntaskan persoalan pokok Acheh. Mengapa? Dimana kelirunya, dimana letak persoalannya, bagaiamana menghadapinya dan bagaimana mencari solusinya? Ini berhubung langsung dengan strategi perang, politik dalam dan luar negeri. Yang jelas, apa yang telah, sedang dan akan berlaku, direkam sepenuhnya oleh sejarah. Sejarah adalah mahkamah yang paling jujur dan adil dalam dunia ini, mengalahkan segala-galanya. Sejarah masih lagi mengadili bangsa Acheh. Dari itu, cerna dan pahami setiap tanda-tanda zaman –putusan sejarah– sehingga  bisa menjadi gizi dalam tubuh bangsa Acheh. Untuk kemudian bersemangat, bangkit bersaksi dan berjuang menuju cita-cita merdeka.

Hari ini, generasi baru Belanda mesti bersikap jujur dan terbuka dalam persoalan Acheh. Kepada anggota GAM, RMS dan PAPUA yang bersama-sama akan melakukan demontrasi di den Haaq, pada 2 April 2004 bisa menanyakan kepada pemerintah, anggota Parlemen dan rakyat Belanda: Apakah matinya Kôhler, kematian beberapa perwira tinggi Belanda beserta ratusan ribu serdadu Belanda-Djawa di Acheh dan telah mengorbankan ratusan ribu bangsa Acheh mati dibunuh, sebagai suatu kebanggaan untuk mempertahankan kedaulatan negeri Belanda? Apakah matinya Kôhler, kematian beberapa perwira tinggi Belanda beserta ratusan ribu serdadu Belanda-Djawa di Acheh dan telah mengorbankan ratusan ribu bangsa Acheh mati dibunuh, demi membangun, memperluas dan mempertahankan imperium Netherland East Indies? Apakah kematian Kôhler, kematian beberapa perwira tinggi Belanda beserta ratusan ribu serdadu Belanda-Djawa di Acheh dan telah mengorbankan ratusan ribu bangsa Acheh mati dibunuh, karena bangsa Acheh pernah menyakiti dan memusuhi Belanda? Apakah kematian Kôhler, kematian beberapa perwira tinggi Belanda beserta ratusan ribu serdadu Belanda-Djawa di Acheh dan telah mengorbankan ratusan ribu bangsa Acheh mati dibunuh, oleh sebab Acheh pernah mengkhianati perjanjian antara Acheh–Belanda? Apakah kematian Kôhler, kematian beberapa perwira tinggi Belanda beserta ratusan ribu serdadu Belanda-Djawa di Acheh dan telah mengorbankan ratusan ribu bangsa Acheh mati dibunuh, sebagai wujud daripada kolonialisme yang terkutuk dalam peradaban manusia? Atau apakah kematian Kôhler, kematian beberapa perwira tinggi Belanda beserta ratusan ribu serdadu Belanda-Djawa di Acheh dan telah mengorbankan ratusan ribu bangsa Acheh mati dibunuh, sebagai tumbal dari fitnah Belanda terhadap Acheh? Untuk apa semua ini?

Untuk mengelak dari fitnah dan agar supaya generasi muda Belanda, Indonesia dan dunia internasional tahu persis mengenai akar konflik antara Belanda-Acheh (akar konflik yang sama antara Acheh-Indonesia), izinkan saya memuat sebagian daripada Laporan Utama Suratkabar The New York Times, Sabtu, 5 Juli 1873, yang dipandang neutral, secara rinci melaporkan dari medan perang sbb:

“Pernyataan perkara sebab-musabab perselisihan yang dikeluarkan di den Haaq, semua sudah kita dengar: dikatakan Acheh melanggar perjanjian, merampok di laut dan melakukan perdagangan budak. Belanda juga mengatakan bahwa mereka tidak bermaksud untuk melakukan ‘agressi’ atau menjajah Acheh; maksud memerangi tidak lain, kecuali untuk menghukum bangsa Acheh yang selama ini bersalah dan supaya tercipta stabilitas keamanan di masa depan.

“Pernyataan bangsa Acheh ternyata berbeda sekali. Dan tidak ada alasan lain, demi keadilan bagi kita yang telah pasang telinga mendengar pernyataan musuh orang Acheh, giliran kita sekarang wajib pasang telinga juga untuk mendengar pernyataan pihak Acheh. Dua tahun kebelakangan ini, surat kabar “Basirat” di Istanbul menulis bahwa, satu kapal perang Belanda menghampiri perairan Kuala Acheh dan meminta orang Acheh supaya menyerah kepada Belanda. 

Panglima Acheh naik kapal tersebut dan mengatakan kepada Belanda, bahwa Acheh adalah suatu negara dalam lindungan Sultan Turki, oleh sebab itu Bendera Acheh sama dengan Bendera Turki. Jika Belanda bermaksud untuk meminta sesuatu, perkara ini bisa diberi sepanjang tidak melanggar kedaulatan Khalifah Islam di Turki. Panglima perang hanya meminta bertemu dengan Sultan Acheh dan untuk itu mereka mendarat. Ketika menghadap, Sultan mengatakan seperti yang sudah Panglima Acheh katakan sebelumnya. Sesudah itu, kapal Belanda bertolak meninggalkan laut Acheh. 

Kemudian Sultan mengutus duta ke Istanbul memberitahu, apa yang sudah terjadi dan meminta bantuan dari Khalifah Islam jika meletus perang dengan Belanda. Hampir dua tahun kemudian, satu kapal dengan dikawal oleh 20 buah kapal perang, semua memakai Bendera Belanda, berlabuh di Kuala Acheh. Salah seorang kurir [pen: kemudian diketahui bernama SUMOWIDIGDJO] membawa surat untuk diantar ke darat, sebagai utusan dari panglima Belanda yang meminta lima point supaya diterima oleh Pemerintahan Acheh:

1. Serahkan negara Acheh kepada Belanda dengan tidak melawan (tanpa syarat) dan terima bangsa Acheh dibawah jajahan Belanda;
2. Putuskan semua hubungan Acheh dengan negara-negara Eropah yang lain, begitu juga dengan Turki;
3. Supaya menghentikan perdagangan budak di Pulau Sumatera dan menghentikan lanun di laut;
4.      Supaya Acheh menyerahkan kepada Belanda semua Pulau Sumatera atau tanah Sumatera yang masih berada dibawah perlindungan Kerajaan Acheh;
5.      Menukar Bendera Acheh –Bintang Bulan– seperti Turki dengan Bendera Belanda.

“Sultan Acheh tidak mau menjawab secepatnya atas permintaan Belanda yang tidak masuk akal itu, oleh karenanya meminta tiga bulan untuk memikirkannya. Jenderal Belanda membalas dengan segera, katanya, Acheh diberi waktu satu jam untuk menjawab Ultimatum yang baru saja diserahkan. 

Apa yang terjadi sesudah itu, sudahpun diketahui oleh seluruh dunia. Sultan Acheh menolak semua isi Ultimatum Belanda yang tidak berhak itu dengan tidak ragu-ragu dan tidak patah semangat. Sebagai balasan, Belanda terus melancarkan perang kepada Acheh. Sewaktu Belanda kalah yang mengorbankan ribuan serdadu mati, termasuk Jenderalnya. Disinilah terletak akar masalahnya sekarang.

“Sekarang jelas sudah, menurut Basirat, Sultan Acheh telah bertekad dengan kemuliaan yang megah dan menghadapinya dengan tenang. Dikatakan oleh Sultan Acheh dalam pernyataan beliau kepada musuhnya, bahwa beliau, demi kemuliaan dirinya, tidak akan mau menjadikan Acheh sebagai budak bangsa lain; soal perdagangan budak seperti yang dituduh Belanda, hal itu sama sekali tidak benar, sebab di Acheh tidak mengamalkan dasar perbudakan; perkara hukum perampok di laut sudah diatur dalam Hukum negara Acheh, tidak perlu Belanda bilang, siapa yang didapati merampok sudah tentu dihukum oleh Pemerintahan Acheh; soal hubungan dengan Khalifah Islam di Turki, itu urusan agama Islam, dimana bangsa Acheh tidak mengubahnya; masalah agama dan Bendera, bangsa Acheh selamanya siap sedia menumpahkan darah sampai tetesan darah terakhir.

“Bagaimanapun, orang Acheh yang berperang dalam medan perang yang bermandi darah terus berlangsung waktu itu, kedua belah pihak sudah mengaku; semua perkiraan meyakinkan kita bahwa perlawanan mereka di masa depan akan tetap seperti yang sudah berlaku, apakah sama-sama menang atau kalah. Begitu juga, menurut Basirat, orang Acheh  berpengalaman dalam berperang seperti lawan yang beradab.

“Kalaulah berita yang dimuat oleh Basirat  dijadikan sebagai tolak ukur, maka hubungan antara Acheh–Belanda sudah jauh berubah di mata dunia. Do’a kita biasanya kita beri kepada pemerintahan Kristen dan Pemerintah yang beradab; begitu juga, sudah tentu, jika kita simak mengapa Belanda berperang untuk menghancurkan perampok atau pencuri, tentu kita harap Belanda menang; tetapi jika kita lihat satu negara yang berani berperang mempertahankan negaranya, Bendera, dan agama dari penyerang yang kurang ajar, ini merupakan suatu pemandangan yang berbeda sekali. Yang disebut terakhir ini, adalah gambaran yang betul dari keadaan di Acheh seperti sudah dikabarkan oleh rakan Acheh yang berbudi baik, wartawan Istanbul. Pembaca yang cerdas bisa menilai sendiri pernyataan siapa yang patut dipercaya: pernyataan Acheh atau pernyataan Belanda.”  Jadi, sekarang-lah saatnya dipakai instrumen moral, hukum, keadilan, politik dan kebenaran sejarah untuk menyelesaikan masalah Acheh.

***********************************
Atas pernyataan bangsa Acheh “tidak pernah merasa malu dengan sejarahnya.” Hal ini, kiranya layak menjadi renungan, setidak-tidaknya bukti di bawah ini mengejutkan:

Pertama, bagaimana bisa terjadi, Acheh yang megah sebagai bangsa gagah berani dalam perang seperti sudah diakui musuh, tetapi perang yang panjang dan melelahkan –setidak-tidaknya dari tahun 1873 sampai sekarang–  belum juga meraih kemenangan, kalahpun tidak!

Kedua, Acheh telah menjadi bangsa yang hina, turun derajatnya >>dari suatu bangsa >>menjadi salah satu suku dari bangsa “Indonesia”-Jawa. Pada hal  Acheh, sebelumnya tegak sebagai suatu bangsa dan negara, memiliki: tanah, rakyat, pemimpin, bahasa, budaya, peradaban dan sejarah.

Ketiga, Acheh sudah terbukti mampu mengusir agressor Belanda dan Jepang dari bumi Acheh. Belanda, bukan saja terusir, lebih dari itu imperium Netherland East Indies yang beratus-ratus tahun sudah dibangun dan dipertahankan, akhirnya runtuh juga menjadi puing-puing, hanya lantaran membiayai perang melawan Acheh. Walau demikian, ... Belanda boleh kehilangan Acheh dan kehilangan wilayah jajahannya –Netherland East Indies– tapi  tidak kehilangan negeri Belanda sebagai tanah air; ... Jepang boleh kehilangan Acheh dan kehilangan tanah jajahan di Asia Timur Raja, tapi tidak kehilangan negeri Jepang sebagai tanah leluhurnya; ... Turki boleh kehilangan wilayah imperium Khalifah Ibrahim dan Oesmaniyah yang megah dan sangat luas itu, tapi tidak kehilangan negeri Turki sebagai tanah tumpah darah; ... Jerman boleh kehilangan tanah jajahannya di Eropah Timur dan Barat, tapi tidak kehilangan negeri Jerman sebagai negeri yang megah; ... Sepanyol dan Portugis boleh kehilangan tanah jajahan masing-masing di Amerika Latén, Afrika dan Asia, tapi tidak kehilangan negeri Sepanyol dan Portugis sebagai negeri yang bertuah; ... Perancis boleh kehilangan tanah jajahannya di Amerika Selatan (Canada), Asia dan di Afrika, tapi tidak kehilangan negeri Perancis sebagai negeri yang megah; ... Inggeris boleh kehilangan tanah jajahannya di Australia, New Zealand, Amerika, Malaysia dan di Afrika, tapi tidak kehilangan negeri Inggeris yang megah tukang menjajah.

Lantas, bagaimana dengan Acheh? Segala-galanya kehilangan. Ya, kehilangan kemerdekaan; ya, kehilangan tanah air; ya, kehilangan Sumatera; kehilangan budaya; ya, kehilangan sejarah; dan ya, kehilangan peradaban akibat dijajah oleh Indonesia. Ini fakta sejarah yang memalukan dan wajib ditebus kembali, bertarung melawan segala bentuk kolonialisme demi mengembalikan maruwah dan harga diri sebagai suatu bangsa yang megah dan agung.      

5 APRIL DIBAWAH BENDERA INDONESIA
Jika pada 5 April 1873, merupakan hari kemalangan bagi Belanda (penjajah), sebab kalah dalam perang Acheh, matinya Jenderal Kôhler beserta ribuan serdadunya –yang bermakna hari kemenangan bangsa Acheh– maka sebaliknya, hari ini –5 April 2004– rezim  penjajah Indonesia melaksanakan Pemilu di Acheh –memperjual-belikan suara bangsa Acheh– untuk kepentingan politik dan propaganda Indonesia kepada dunia internasional, sekaligus mengantarkan para politisi bajingan ke Gedung MPR-DPR Senayan –anggota Parlemen RI– atau menjadi anggota Parlemen RI untuk Acheh. Dan, hari ini 5 April 2004, kurang 14 hari lagi 11 bulan diberlakukan Darurat Militer di Acheh oleh penguasa perang Indonesia, sejak 19 Mei 2003 lalu, sungguh merupakan pemandangan yang kontradiksi dan mengajak bangsa Acheh menatap masa depannya. 

Suka atau tidak suka, inilah kenyataan yang tengah berlaku. Sejarah sedang menyidang bangsa Acheh. Akan keluar sebagai pemenang atau kalah dalam pertarungan militer dan politik yang melelahkan ini, atau tidak kedua-duanya  –tidak kalah, tidak juga menang– seperti keadaan seratus tahun lebih sebelum ini (1874-sekarang).

Kalaulah kemenangan diartikan sebagai kebahagiaan, ada filosuf berkata: “kebahagiaan itu bukan realitas yang anda saksikan, tetapi apa yang ada dalam fikirkan anda”? Terserah! Wallahu’aklam bissawab.|Krueng.com 

Tags:
Isbahannur

Jurnalis acehbaru.com yang tergabung dalam Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Organ Sipil Lain di Aceh

Get Updates

Subscribe to our e-mail newsletter to receive updates.

Share This Post

Related posts

comments
© 2013 Brigent. WP Theme-junkie converted by Bloggertheme9
Blogger templates. Proudly Powered by Blogger.
back to top